Chapter 18 : Decision

5.8K 1.1K 154
                                    

'Awali semua keputusan dengan tepat sebab penyesalan itu selalu datang di akhir.'

*****

Jadi, ini alasannya, ya?

Vi masih termenung. Enggan beranjak meski Vania sudah pergi dari ruang rawatnya. Ucapan gadis itu terasa seperti bom waktu sehingga ia tidak dapat berkata apa pun selain membiarkan perasaannya yang mendadak hancur. Hal itu tanpa sadar membawanya pada ingatan salah satu suara yang pernah ia dengar.

"Karena dia satu-satunya orang yang mau aku ajak nikah. Tanpa tanya dulu alasannya."

Sekilas Viero melirik semua lembaran foto USG yang berserakan di lantai tersebut. Tersenyum getir bersamaan dengan kedua matanya yang mulai terasa memanas. Merasa bodoh sebab dulu ia benar-benar bahagia ketika Rhea mengajaknya untuk menikah.

Tentu saja Vi tidak menolak. Lebih tepatnya tidak ada orang yang mau menolak untuk hidup bersama orang yang disukainya. Ia bahkan sampai tergesa-gesa mempersiapkan segala keperluan pernikahan; dari membuat kartu undangan sampai memberitakannya kepada media-- yang ditentang Dehan dan agensi pada awalnya.

Vi masih mengingatnya dengan jelas. Dehan pernah mengatakan bahwa ia tidak seharusnya menikahi perempuan yang tidak memiliki perasaan lebih terhadapnya. Dehan menyuruhnya untuk menunggu waktu yang tepat, namun ia tetap bersih keras sebab sudah menunggu hal ini sejak lama. Vi tidak mau lagi perasaannya terus-terusan tak terbalas. Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu benar-benar melelahkan.

Vi seharusnya mempertimbangkan kembali ucapan Dehan kala itu. Bukan malah mengabaikannya dan menyesal di saat-saat seperti ini. Ia benar-benar merasa terpukul sebab Rhea ternyata hanya ingin menikahinya karena memang tidak punya pilihan lain. Rhea tidak pernah mencintainya. Rhea hanya ingin menikah agar ada ayah dari anak yang tengah dikandungnnya.

Lama berdiam diri, akhirnya Vi bergerak untuk memunguti semua foto itu satu-persatu. Ia melihat lembaran tersebut dari jarak yang cukup dekat sehingga ia kembali merasa sesak.

Delapan minggu. Jadi, sudah selama itu?

Dengan rahang yang mengetat, Vi mencoba untuk tidak gegabah. Barangkali ia tengah menahan diri agar tidak meremat foto tersebut ditengah kekecewaannya. Apakah ia akan tetap menikahi Rhea setelah mengetahui hal ini? Apakah ia akan menerima anak itu meski bukan darah dagingnya sendiri? Entahlah. Bahkan sampai detik ini pun, Vi masih menganggap bahwa Rhea adalah seseorang yang ia sukai, sampai lupa ada satu nama yang terus mengusik pikirannya akhir-akhir ini.

Arin.

Tanpa Vi ketahui, ada ruang tersendiri di hatinya untuk gadis itu. Ketika Vi diam-diam memperhatikan Arin yang ketiduran saat menjaganya di ruang rawat, seolah ada gelenyar aneh yang membuat darahnya terasa berdesir. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitiki perutnya, serta debaran hebat yang belum pernah Vi rasakan bahkan setelah ia bertahun-tahun menyukai Rhea.




•••••





Arin terhenyak ketika ia membuka pintu unit apartemennya. Setelah membuang semua robekan poster Vi—yang  disesalinya setelah sadar usai menangis. Bodoh! Arin kembali ke apartement untuk mengambil jaketnya yang menggantung di pintu kamar.

Udara di luar ternyata lebih dingin dari perkiraan dan malam ini Arin berencana untuk pergi ke luar sebentar. Bukan untuk kabur tentu saja sebab ia tidak setega itu meninggalkan Vania sendirian di apartemen yang sudah mereka bayar bersama, melainkan membeli makanan pedas untuk menyegarkan pikirannya.

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang