Chapter 3 : Aspersion

13.6K 2.5K 1K
                                    

Jadi, bias kamu siapa, nih? Jangan lupa comment yaa..

______________________________________

'Belum pernah pacaran bukan berarti belum pernah patah hati.'

*****

Seperti hari-hari biasnya, Caphelia yang semula lengang berubah ramai pada jam makan siang menjelang sore. Beberapa pegawai kembali disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Tak terkecuali Arin yang kini tengah berkutat di meja kasir.

Selepas pamitnya pemilik kafe karena urusan mendadak. Arin mau tak mau harus menggantikkan posisinya dengan wajah lesu tak biasa. Arin menyadari itu. Jelas ada yang tidak beres dengan dirinya. Sekalipun ia sibuk melayani pelanggan yang memesan, pikirannya sejak tadi hanya tertuju kepada Viero.

Arin tidak mau munafik. Mendapat kabar bahwa Viero tak jadi menikah membuatnya bisa bernapas lega, hanya saja alasan dibaliknya yang membuat Arin menjadi khawatir. Sebab pernikahan mereka bukan gagal karena putusnya sebuah hubungan, melainkan karena kecelakaan yang menimpa laki-laki itu.

"Kak Arin!"

"Ya?" Arin terkesiap. Ia mengerjap lantas menatap Bian yang sedang memandanginya dengan wajah kesal. Laki-laki berseragam SMA itu entah sejak kapan sudah berdiri dengan satu tali ransel yang mengait pada pundaknya.

"Aku mau chesse cake. Nanti anterin ke meja sana, ya, Kak!" perintahnya sambil menunjuk tempat yang paling pojok di Caphelia. Tempat Bian seperti biasa. Tanpa menunggu lebih lama lagi, laki-laki itu segera membawa langkahnya pergi dari kasir.

Arin sepertinya masih terkejut. Tampak berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggebu. Ia kemudian mendekati etalase, menyiapkan pesanan Bian, dan mengatarnya sesuai perintah.

"Kamu sendirian lagi? Bian, kamu beneran nggak ada temen?" Arin bertanya setelah mendudukkan dirinya di depan laki-laki itu. Sepiring chesse cake sudah diletakkannya di atas meja. Wajahnya jelas sekali tampak cemas.

Bian berdecak. "Mana mungkin aku enggak punya temen! Emangnya kalo pergi ke kafe harus berdua terus?" sahutnya tanpa melirik Arin barang sedikit pun. Bian sibuk mencatat kalimat dari buku paketnya.

Arin mendengus. Melihat Bian yang seperti ini, ia jadi teringat dengan Vania. Bian dan Vania sama-sama tidak mau diganggu saat sedang serius. Mereka berdua hanya sepupu tiri, tetapi terlihat seperti saudara sungguhan jika sedang seperti ini.

"Kalo enggak punya pacar, minimal ajak temen kamu ke sini, dong! Nanti biar kakak yang teraktir. Kakak seneng kalo kamu punya banyak temen. Seru!" Arin memperhatikan Bian yang masih sibuk menyalin pada buku catatannya. Ternyata matematika. Wah! Arin jadi pusing melihatnya.

"Emangnya Kak Arin punya pacar?"

Pertanyaan itu lebih terdengar seperti sindiran di telinga Arin. Gadis itu lantas terkekeh kecil. Benar. Arin tidak punya pacar. Lebih tepatnya belum pernah pacaran. Dia terlalu sibuk menjadi penggemar, sampai lupa kalau pacaran itu dianggap penting bagi kebanyakan orang.

"Pacaran emang penting, tapi cari uang itu jauh lebih penting!" balasnya tanpa ragu. Jangan salah. Meski sering halu, menjadi fangirl juga harus realistis. Daripada pacaran, Arin jelas lebih memilih mencari uang untuk menemui Viero. Lebih worth it.

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang