Chapter 50 : Moonlight

2.3K 316 12
                                    

'Sama seperti bintang yang tidak bersinar terang tanpa cahaya bulan, seorang idola juga tidak akan menjadi besar tanpa penggemarnya.'

*****

Arin menghela napas pendek begitu keluar dari bilik toilet. Sebelumnya ia sempat merasakan bagian bawah perutnya mulas dan sedikit kram. Arin tidak menduga kalau ia akan mendapat tamu bulanannya hari ini. Padahal siang tadi ia bisa saja sekalian membeli pembalut di supermarket setelah bertemu dengan Jeiren.

Segera gadis itu meraih ponsel yang sempat diletakkannya di atas pantry. Mengecek jam yang tertera di sana. Pukul delapan kurang lima belas menit. Syukurlah malam ini Arin tidak mendapatkan jatah lembur, jadi ia bisa langsung pulang dan mampir dulu ke minimarket. Arin hanya perlu membereskan pekerjaannya sebentar sembari menunggu waktu menunjuk pada pukul delapan, kemudian ia akan pamit dan berjalan ke halte bus.

Usai membereskan pekerjaannya, Arin memakai jaket dan mengambil tasnya di loker dekat jendela seperti biasa. Melangkah keluar dari pintu dapur dan dari sana ia bisa melihat Jino yang masih duduk di bangku paling pojok dekat etalase. Dahinya tampak mengkerut menatap layar laptop di hadapannya. Sementara bangku lainnya sudah terisi dengan beberapa pengunjung yang tampak lebih muda darinya.

"Masih belum selesai, No?" tanya Arin begitu sampai di samping Jino.

Yang ditanya pun mengerucutkan bibirnya. "Belum," jawabnya singkat. Setengah mengerang Jino pun menoleh. "Kak Arin udah mau pulang, ya? Padahal aku juga mau pulang."

"Emangnya Bu Yena belum datang lagi ke sini?"

Jino menggeleng kecil. "Ibu nyuruh aku jagain cafe tadi. Kayaknya aku bakalan pulang jam sepuluh, sekalian ngerjain tugas sambil nunggu yang lagi lebur."

Melihat Jino yang menghela napas dan kembali mengetik, Arin cukup mengerti kalau laki-laki itu sedang merasa kalut. Namun ia pun tidak bisa membantu karena tidak punya pilihan lain, selain harus pulang cepat malam ini. "Kalau begitu aku pulang duluan, ya, No," pamit Arin sembari menepuk bahu Jino pelan. "Fighting!"

Jino mengangguk sebagai tanggapan. "Iya, hati-hati!"



•••••



Arin merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya setelah menutup kembali pintu caphelia. Hawa dingin di musim penghujan masih terasa menusuk kulit meski gadis itu sudah mengenakan jaketnya. Dengan langkah ringan, Arin menatap layar ponselnya tersebut sembari mengetik pesan kepada Vania.

Kamu udah pulang?|

|Udah, kenapa?

  Aku mau mampir ke minimarket|
Mau beli pembalut|
Kamu mau nitip nggak?|

|Boleh
|Mau nitip Mie Goreng Rendang
|sama kapas wajah

Tin!

Suara klakson mobil tiba-tiba saja terdengar, membuat Arin sontak mengalihkan pandangannya. Vi tampak melongok dari kaca mobil, melambaikan tangannya sembari tersenyum ke arah Arin yang masih mematung karena terkejut. Bagaimana tidak? Arin tidak menduga kalau Vi akan menjemputnya malam ini dan semalam ia memimpikan laki-laki itu membuat jantungnya berpacu dengan cepat sampai Arin bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

"Ayo, naik!" ucap Vi setelah menghentikan mobilnya di samping gadis itu.

Arin mengerjap dengan wajah yang bersemu merah. Di saat-saat seperti ini bisa-bisanya ia teringat mimpinya yang berakhir dengan tragis tersebut. Dengan kedua telapak tangan yang menggenggam tali tas selempangnya erat, Arin menggeleng kecil, merasa tidak enak. "Ak--aku naik bus aja," tolaknya singkat. Bahkan suaranya jadi tedengar terbata-bata karena gugup.

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang