Chapter 25 : Dystopia

5.2K 732 48
                                    

'Tidak ada yang mustahil di dunia ini, kecuali menikah dengan idolamu sendiri.'

*****

Berada di ruang tahanan membuat Arin seakan mual untuk bertemu siapa pun, tetapi malam ini seorang polisi datang dan mengatakan ada yang ingin menemuinya. Siapa? Arin bertanya-tanya dalam hati. Terpaksa ia mengikuti polisi tersebut meski enggan untuk beranjak. Apakah itu Vania? Mamanya? Bian? Atau mungkin Jino yang mengembalikan ponsel miliknya setelah diperbaiki? Entahlah, yang jelas Arin yakin itu bukan Vi. Memangnya apa lagi yang kamu harapkan, Arin? Vi pasti sudah benci sama kamu!

Dengan raut wajah yang berubah masam, Arin berhenti ketika melihat sosok tersebut. Seseorang yang tidak begitu asing dengan penampilan yang mencolok. Arin mendengus, menatap sosok itu dengan sengit, kemudian ia menarik kursinya untuk duduk. Mau apa sih dia ke sini? "Apa kita punya urusan?"

"Apa kamu pikir urusan kita sudah selesai?" Rhea balik menatap Arin dengan sorot yang tak kalah sengit. Kedua tangannya terlipat di depan dada sembari memasang senyum kecut. Bahkan kaca yang membatasi keduanya seakan tidak berguna sama sekali.

Arin memutar bola matanya malas. Ia sungguh tidak ingin bertemu siapa pun, apalagi wanita di hadapannya tersebut. Ia tidak mau. "Aku nggak suka kamu. Aku nggak suka kamu ada di sini. Jadi, pulang sekarang juga dan jangan temui aku!"

Rhea berdecih mendengar nada memerintah itu. "Kamu tahu? Semenjak ada berita aku akan menikah sama Vi, banyak orang yang nggak suka aku. Tapi apakah mereka penting?" tanyanya dengan suara yang terdengar seringan kapas. "Aku pikir mereka sekarang lebih membencimu karena kesalahanmu sendiri. Seharusnya kamu nggak menculik Vi dan jadilah fans yang tahu diri!"

"Seharusnya kamu nggak bilang mau mengobati Vi ke luar negeri. Seharusnya kamu nggak bilang mau nikah sama laki-laki lain dan tinggalin Vi sendirian di sana!"

Rhea seakan tercekat mendengar kalimat tersebut. Sementara Arin mulai tersenyum miring dan ikut berserekap tangan meniru Rhea. "Aku pikir kamu nggak peduli lagi sama Vi. Kamu tahu? Seorang fans nggak akan biarin idola mereka sedih apalagi terluka. Jadi, kenapa aku harus biarin Vi sama kamu, padahal kamu sendiri mau tinggalin dia dan nikah sama laki-laki lain?" Arin terkekeh kering. "Aku pasti sudah gila!"

"Dari mana kamu tahu?" sergahnya cepat. Rhea menatap Arin dengan sorot tajam. Ia benar-benar tak habis pikir. "Dasar penguntit!"

"Aku menguping."

Rhea semakin geram dengan gadis di hadapannya tersebut. Ia berusaha menahan amarahnya yang semakin menggelegak naik. Gadis itu benar-benar sudah kelewatan mengorek privasi orang lain. "Sampai mana kamu tahu tentang aku? Sampai mana kamu mengusik kehidupan aku sama Vi?"

Arin menggedikkan bahunya tak acuh. "Nggak tahu, tapi beberapa hari yang lalu aku dengar kamu hamil?" Arin berusaha menahan ekspresinya meski dadanya terasa sesak bukan main. Sorot matanya pun berubah redup meski Rhea mungkin tidak menyadarinya. "Selamat—"

"Apa maksud kamu!"

"Aku bilang selamat atas kehamilanmu!"

Rhea menelan kembali ucapannya yang hendak mengudara lepas. Ia bahkan hampir saja meneriaki gadis di depannya jika sampai ada orang yang tahu atau bahkan mendengar ucapan tersebut. "Nggak perlu. Aku bahkan nggak suka dengan keadaanku!"

"Kamu pikir aku suka dengan keadaanku?" Arin mendelik, kemudian ia mendengus seraya menatap Rhea tak percaya. Ia bahkan lebih menderita dari gadis itu. "Kamu hanya perlu menikah. Jangan khawatir, aku percaya Vi bukan laki-laki brengsek. Dia pasti akan menikahi kamu dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Jadi, jangan mengeluh seolah hanya kamu yang paling menderita di sini!"

Rhea tidak bereaksi. Sementara Arin berusaha mengatur napasnya yang berubah memberat. "Kamu beruntung akan menikah sama seseorang yang dicintai banyak pihak. Kamu beruntung bisa dicintai Vi. Aku iri sama kamu."

Rhea mengela napas jengah. "Kamu bahkan nggak tahu apa pun!" sahutnya dengan suara ketus. "Ini lebih rumit dari yang kamu bayangin. Rasanya aku nggak punya harapan lagi buat ngejar masa depanku. Aku bahkan hampir nyerah karena rasanya ini lebih sulit dari apa pun!"

Arin berdecak. "Aku bilang bukan kamu aja yang merasa sulit! Bukan cuma kamu yang nggak punya harapan lagi dan hampir nyerah! Pulang sana!" titah Arin dengan kesal. Memangnya cuma dia saja yang merasa begitu? Ia juga tidak punya harapan lagi untuk menikah sama Vi tahu! "Aku lagi nggak mau curhat, apalagi dengerin curhatan kamu! Kita nggak sedekat itu untuk berbagi cerita! Kita nggak saling kenal!"

"Kamu benar." Rhea mulai berdiri dari duduknya. Menatap Arin dengan senyum tipis. "Kalo begitu, aku permisi. Nanti aku kasih surat undangan pernikahan aku sama Vi."

Arin berdecih. Wanita itu sengaja mau membuat hatinya panas ya? Ia bahkan sudah terbakar api cemburu. "Nggak perlu," ketusnya. "Nanti aku malah ngehancurin pernikahan kamu. Memangnya kamu mau?"




•••••



Entahlah.

Kalau dipikir-pikir malam ini mungkin sudah larut? Atau mungkin hampir dini hari?Arin tidak begitu yakin sebab tidak ada jam dinding, ponsel, bahkan barang lain selain alas tipis yang sudah ia gunakan untuk berbaring.

Arin menatap langit-langit seraya termenung. Ia tidak bisa tidur sungguh. "Dia bilang nggak ada harapan lagi buat ngejar masa depan? Cih! Dia bahkan punya masa depan cerah karena mau nikah sama Vi!"

Arin benar-benar tak habis pikir. Kalau ditanya siapa orang yang paling tidak bersyukur, Arin akan menjawab Rhea tanpa ragu. Bisa-bisanya Rhea mengatakan hal itu ketika ia bahkan kesulitan untuk sekedar menemui Vi. Memikirkannya saja sudah membuat Arin ingin sekali mengumpat.

Dunia ini benar-benar nggak adil!

Seharusnya ia bertukar posisi saja dengan gadis itu. Kenapa pula orang yang tidak begitu mencintai Vi—bahkan hampir mencampakkannya harus berada di dekat laki-laki itu, sedangkan ia yang mencintainya setengah mati malah berada jauh dengannya sampai kesulitan untuk bertemu. Apakah ia sebegitu tidak beruntungnya? Apakah ia punya kesalahan yang tidak ia sadari di masa lalu? Arin bahkan tidak tahu.

"Ah, aku bahkan belum pernah pacaran karena menganggap Vi itu jodohku," lirihnya.

Arin pun berbalik ke samping. Ia menggunakan sebelah tangannya untuk menopang kepala, kemudian ia memejamkan matanya dengan cepat. Malam ini udara jadi terasa lebih dingin, apalagi hujan mulai terdengar dari luar. Sepertinya ia memang harus cepat tidur, sebab ia tentu tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok.

Jadi, begini kah akhirnya? Arin merasakan matanya mulai memanas. Seberapa keras ia berusaha untuk tidak peduli, tetap saja ia masih kepikiran. Arin bahkan merasa bahwa tidak ada yang lebih sulit di dunia ini selain menggapai Vi. Dan sakit hati yang paling perih yang dirasakan seorang penggemar, adalah ketika kamu merasa tidak ada yang mustahil di dunia ini, kecuali menikah dengan idolamu sendiri.

Vi pasti senang banget bisa menikah dengan seseorang yang dicintainya ya? Vi pasti bahagia hidup bersama Rhea dan anak-anaknya nanti. Arin seharusnya ikut bahagia saat memikirkan hal itu, tapi mengapa ia masih belum bisa menerimanya? Mengapa hatinya masih terasa sesakit ini?

Padahal ia jelas bukan siapa-siapa. Padahal Vi jelas tidak mengenalinya.  Padahal banyak orang yang mengingatkan agar ia tidak terlalu menyukai Vi, tapi Arin bisa apa jika perasaannya masih tetap tidak berubah? Ia mungkin hanya bisa bersedih dan meratapi nasibnya sendiri.

Arin mulai meringkuk. Udara yang semakin dingin membuat tubuhnya jadi menggigil. Kepalanya terasa pening ketika ia baru saja memikirkan bagaiman nasibnya beberapa hari ke depan. Apakah ia bisa keluar dari sini? Apakah ia akan tetap di sini? Atau ia malah di kirim ke lapas bersama tersangka yang lain? Arin merasa napasnya mulai tercekat. Air matanya mengalir tanpa bisa ia cegah lagi.

"Aku nggak mau di sini."

Bersambung.....



I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang