Chapter 6 : Fancy

9.5K 2K 510
                                    

'Liatin bias di layar HP itu enggak bikin mata minus, tapi bikin jatuh cinta.'

*****

Arin melangkahkan kakinya di area lobi Rumah Sakit Darria. Gadis itu berencana mengunjungi Vi sebelum berangkat kerja menuju kafe. Malam tadi ia tak sempat berkunjung karena Vania pulang dengan pakaian basah kuyup sambil mengigil.

Arin tak bisa meninggalkan Vania sendirian di apartemen. Apalagi saat gadis itu sedang membutuhkan bantuannya. Bahkan sebelum Arin berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk Vi, Vania masih saja meringkuk dengan selimut tebal di dalam kamarnya.

Untuk beberapa saat, Arin berusaha menajamkan indra penglihatannya. Di antara orang-orang yang berlalu lalang, pandangannya kini tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari lorong rumah sakit. Tampak begitu familiar di mata Arin.

"Bian?" Arin bergumam dengan kening yang mengernyit. Memastikan seseorang yang dilihatnya itu dari jarak yang cukup jauh. Tungkainya melangkah lebar. Mendekati Bian sebelum laki-laki itu menjauh dari jangkauannya.

"Kak Arin?" Bian terlonjak begitu melihat Arin yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan pandangan menelisik. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya yang sudah ia tangkap sebelum jatuh membentur lantai. Bian berdecak. "Sapa dulu, kek! Bikin anak orang kaget aja!"

"Kamu ngapain di sini?" Alih-alih meminta maaf, Arin justru bertanya dengan spontan. Ini masih pagi. Sekitar jam setengah delapan kalau tidak salah. Selain itu, belum terlalu banyak orang juga di rumah sakit.

"Ah, itu..."Bian tampak termenung. Berusaha berpikir kilat sementara bola matanya sudah bergerak dengan gusar. Arin masih menatapnya sambil menunggu jawaban. "Kak Vania! Iya, Kak Vania kenapa enggak ada di ruangannya?"

"Kamu ke sini buat ketemu sama Vania?"

Bian hanya mengangguk tanpa ingin menjelaskan. Untungnya ia sempat melewati ruangan Vania setelah mengantarkan bubur buatan mama pada kakak tirinya. Ia jadi tak sepenuhnya berbohong pada Arin.

"Aku pikir keluarga kamu ada yang sakit." katanya sembari menatap Bian yang tidak bereaksi. Yah, memang benar, sih. Bian tidak bisa mengelak karena Vi juga keluarganya meski cuma kakak tiri.

Arin menghela napas. "Hari ini, Vania enggak akan masuk. Dia demam. Kemarin malam dia pulang hujan-hujanan. Kamu ke apartemen aja kalo mau ketemu sama Vania."

Bian mengangguk mengerti. "Begitu, ya?" tanyanya yang mendapat anggukan dari Arin. "Terus Kak Arin ngapain di sini? Katanya Kak Vania enggak akan masuk? Kak Arin sakit?"

Arin sukses mematung di tempat. Bian benar-benar membuat Arin tak dapat berkutik lagi. Ia baru saja menyadari maksud kedatangannya ke rumah sakit ini. Dengan cepat Arin menarik Bian dari tempatnya. Membawa laki-laki itu keluar dari lobi.

"Ayo kita ke depan! Aku teraktir kamu soto ayam!"



•••••



"Makan, Kak!" Bian menegur sekaligus menatap Arin tak habis pikir. Gadis yang duduk di sampingnya itu masih setia menatap ponsel––lebih tepatnya menatap foto Vi yang sedang berpose keren, sementara soto yang dipesannya belum tersentuh sama sekali.

"Percuma liatin hp terus, dia enggak bakalan keluar dari sana!"

Arin menghembuskan napas berat. Tak menghiraukan ucapan Bian barusan. Berkali-kali mendapat sindiran seperti itu membuatnya kebal. Bukan hal asing lagi bagi Arin, sebab gadis itu terlalu sering mendengarkannya hingga bosan.

"Sedih banget, jodoh aku kejebak di wallpaper HP."

Bian memutar bola matanya malas. Kata-kata Arin barusan benar-benar tidak berfaedah untuk didengar. "Lagian kelamaan liatin HP itu enggak baik buat mata. Nanti mata Kak Arin bisa minus!"

Arin berdecak."Mana ada! Liatin bias di layar HP itu bikin mata minus, enggak. Bikin jatuh cinta, iya!"

Bian yang mendengar itu lantas berdecih. Ia tidak pernah menyangka Arin akan sebucin ini pada kakak tirinya. "Makanya cari yang realistis dong, jangan yang halu terus."

Arin mencebikkan bibir, kemudian menyuapkan sesendok soto ke dalam mulutnya tanpa minat. Kenapa manusia yang dicintainya selalu dianggap tidak nyata hanya karena tidak muncul di depan Arin? Kenapa pula Arin mencintai Vi sebelum ia benar-benar bertemu dengannya? Benar-benar tak habis pikir.

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Arin untuk kesekian kalinya. Jika dipikirkan, kisah cintanya bukan hanya rumit tetapi juga menyedihkan. Selain karena ia tidak pernah bertemu langsung dengan Vi, kemungkinan besar perasannya juga tak akan pernah terbalaskan. "Vi juga manusia. Bukan anime."

"Bukan jodoh Kak Arin juga."

Arin tak langsung menjawab. Malas sekali rasanya kalau pembicaraan mereka sudah mengarah ke permasalahan ini. Arin sudah pasti akan kalah telak. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain menerima kenyataan dengan setengah hati. "Jangan ngomong gitu, dong! Ucapan adalah doa, tau!"

"Doa enggak akan terkabul kalo enggak ada usaha," sahut Bian tanpa melihat wajah Arin yang kini sudah berubah menjadi muram. Laki-laki itu masih sibuk menyuapkan soto ke dalam mulutnya, sementara telingannya masih setia untuk menyimak.

Arin menghela napas berat. Orang lain memang tidak akan pernah tahu apa yang telah dilalui seseorang di tengah kesulitannya. Mereka hanya bisa melihat dan berkomentar, sementara diri sendirilah yang merasakan beban beratnya.

"Terus aku harus gimana?" Pertanyaan itu adalah bukti jika ia tidak memiliki cara lain, selain berharap pada takdir.
Bukannya Arin tidak berusaha, hanya saja teramat sulit untuk menemui seseorang seperti Vi. Sekalipun Arin berkeliling di gedung agensinya tetap saja kecil kemungkinan untuk bertemu laki-laki itu.

"Jangan jatuh cinta sama Vi. Jangan jatuh cinta sama orang yang dicintai banyak pihak. Dia itu aktor populer. Yang cinta sama dia banyak, Kak. Inget singan kakak banyak!" Bian memperingati.

Arin hanya mengangguk. "Iya aku juga tau, tapi semuanya udah terlanjur."

Bian menghela napas. Peringatannya seperti sudah tidak berlaku lagi bagi Arin. Ia tidak bermaksud untuk menyuruh Arin berhenti menjadi penggemar Vi. Mengingat bagaimana Vi terlihat begitu menyukai Rhea, Bian tidak ingin Arin sakit hati.

"Cinta sama bias sendiri sewajarnya aja, jangan berlebihan."

Arin mengangguk paham. "Aku cinta sama dia cuma dari ujung kepala sampai ke ujung kaki aja, kok," katanya yang membuat Bian berdecak.

"Itu berlebihan, Kak!" Bian menjeda ucapannya sesaat. Menatap Arin dengan wajah serius. "Cinta sama mukanya aja udah bikin kepikiran. Apalagi cinta dari ujung kepala sampai ke ujung kaki!"

Ya, tentu. Tentu saja Arin hampir gila!

Bersambung.....

Jangan ngehaluin bias kamu sampe baper. Bias kamu enggak akan tanggung jawab soalnya. 😇 (😭).

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang