Chapter 11 : Lacuna

7.1K 1.5K 264
                                    

'Mungkin memang benar. Sampai kapan pun, seorang penggemar tidak ditakdirkan untuk bersama dengan idolanya.'

*****

"Mama bakal jodohin kamu, Arin!"

Ruang tamu tersebut menjadi saksi bisu di antara dua orang yang duduk saling berhadapan. Arin menatap mamanya dengan sorot bingung. Bahkan Vania yang baru saja keluar dari dapur, sampai menyemburkan air minumnya yang hampir tertelan. Terlalu syok. Kalimat itu terlalu mengejutkan untuk di dengar, apalagi Vania baru saja bangun tidur pagi ini.

Vania lantas berkedip. Buru-buru mengusap bagian bibir hingga dagunya yang basah begitu Arin dan mamanya menoleh. Tersenyum canggung, lantas memutar haluan dan melangkah menuju kamarnya dengan botol minum yang masih ia genggam. Vania masih tidak menyangka jika mamanya Arin datang dan mengatakan soal perjodohan.

"Maksud mama?" Kening Arin berkerut. Pertanyaan barusan hanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Demi apa pun, Ini terlalu tiba-tiba.

"Pokoknya kamu bakal Mama jodohin!"

Kalimat tersebut jelas tidak menerima penolakan, namun Arin tetap menggeleng. Berusaha untuk menolak walaupun ia masih belum bisa mempercayainya. Di saat seperti ini, Arin tidak mengerti kenapa mamanya berbicara hal yang tak masuk akal, tetapi ia lebih tidak mengerti lagi kenapa otaknya jadi sulit untuk berpikir. "Arin enggak mau, Ma."

"Kenapa enggak mau? emangnya kamu udah punya pacar?"

Pertanyaan itu mampu membuat Arin terdiam beberapa saat. Bagaimana harus mengatakannya, ya? Arin tidak bisa menjelaskannya meski ia akui pacar halu memang ada. Tapi mana mungkin Arin mengatakan itu di depan mamanya. Mama pasti menganggap Arin asal bicara saja. "Belum."

Mira menghembuskan napas berat. Ada raut prihatin ketika ia melihat putri sematawayangnya. Jika diperhatikan wajah Arin masih bisa dibilang cantik walaupun tidak secantik Song Hyekyo dan Kim Taehee. Tapi mengapa? Apakah tidak ada laki-laki yang mengajaknya berkencan? Apakah ada yang salah dengan putrinya?

Semula termenung, Mira kini menatap Arin penuh selidik. "Jangan bilang kalo kamu masih nge-fans sama aktor itu? Yang namanya Vi... yang dulu posternya sering kamu elapin pake tisu tiap hari?" Mira bertanya was-was usai ia mengingat kebiasaan Arin saat SMA. Semoga saja firasatnya tidak benar sebab Arin sekarang sudah beranjak dewasa.

"Iya."

Mira tercekat. Menjodohkan Arin sepertinya memang keputusan yang paling tepat. Sekali pun ia tidak pernah melarang Arin mengidolakan Vi, tapi tak bisakah gadis itu hidup sedikit lebih normal? Anak SMP saja jaman sekarang sudah memiliki setidaknya dua mantan pacar, sementara Arin yang sudah lulus kuliah tidak pernah berpacaran. Apa itu masuk akal? "Ini nggak bisa dibiarin! Kalo gitu kamu harus mau mama jodohin!"

Arin menatap mama tak percaya. "Arin bisa cari jodoh Arin sendiri, Ma! Arin enggak mau dijodohin, kecuali—"

"Kecuali?" Mira menautkan alisnya.

"Kecuali Arin dijodohin sama Vi. Arin mau. Arin enggak bakal nolak."

Kalimat tersebut memang terdegar tidak tahu malu, tapi sungguh Arin tulus mengatakannya. Di depannya, Mira tidak menjawab selain memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Ucapan Arin terdengar seperti bocah yang ingin diambilkan bulan oleh ibunya. "Kamu bukan anak kecil. Kenapa minta sesuatu yang mustahil?"

Arin menarik napas dalam. Hatinya terasa mencelos. "Memangnya kenapa? Apanya yang salah? Dosen saja bisa menikah dengan mahasiswinya, dokter saja bisa menikah dengan pasiennya, direktur saja bisa menikah dengan karyawannya, terus kenapa Arin nggak mungkin bisa menikah dengan Vi? Kenapa penggemar nggak mungkin bisa menikah dengan idolanya?"

Arin tahu, seorang penggemar itu harus mendukung idolanya sepenuh hati. Tapi haruskah? Haruskah ia mendukung kisah cinta idolanya juga dengan orang lain? Haruskah ia merelakan idolanya dengan seseorang yang dicintai idolanya sendiri? Apa mereka pikir itu tidak sakit? Tidak membuat sesak? Tidak membuat patah hati?

"Oke, satu bulan!"

Arin mengerjap. Suara mama berhasil memecah lamunannya. "Maksud mama?"

"Mama kasih kamu waktu satu bulan buat cari pacar."

Arin menghela napas kasar. "Aku itu jomblo dari lahir, Ma! Mana bisa cari pacar sesingkat itu!" Arin tidak bisa. Ini terlalu sulit baginya. Bukannya Arin tidak mau pacaran, tapi Arin masih belum terbiasa. Sejak dulu, Arin dekat dengan laki-laki itu hanya sebatas teman. Masa remaja Arin pun hanya dihabiskan untuk mengidolakan Vi.

"Mama udah kasih kamu kesempatan. Gunakan waktu itu sebaik mungkin. Kalau kamu gagal, kamu harus mau mama jodohin!"

Arin memalingkan wajahnya ke samping. Ia tidak ingin menatap mama dengan mata yang terasa berair. Dadanya terasa sesak. Waktu satu bulan memang mustahil baginya. Arin merasa dia tidak memiliki kesempatan selain menyerah. Arin merasa semua usahanya berakhir dengan sia-sia.

Untuk apa ia memindahkan Vi ke rumah sakit lain? Untuk apa Arin menjauhkan Vi dari Rhea? Untuk apa Arin mengatakan bahwa ia akan menjaga Vi? Untuk apa semua itu jika pada akhirnya Arin harus mengikuti keinginan mama dan menerima perjodohannya.




•••••



Dehan masih menunggu informasi di depan mejaresepsionis. Sedang mencari tahu keberadaan Vi. Hari ini ia memiliki waktu luang usai mengurus beberapa jadwal aktor baru di agensi. Jadi, ia tidak boleh terlambat sebelum seseorang melapor bahwa Vi menghilang di ruang rawat. Itu akan jadi kacau, apalagi pihak Crown Entertainment masih belum mengetahuinya sampai saat ini.

"Viero Adya Kenan. Dia sudah dipindahkan ke rumah sakit lain atas keinginan keluarganya." Seorang suster di meja resepsionis akhirnya berbicara setelah mengetikkan sesuatu di depan komputer.

Dehan lega mendengar informasi tersebut, tapi ia tidak memiliki satu pun nomor ponsel keluarga Vi untuk dihubungi. Karena jadwal syuting, Vi jadi jarang pulang ke rumah. Laki-laki itu lebih sering pulang ke apartement dekat agensi atau tidur di lokasi syuting. Karena itulah Dehan tidak dekat dengan keluarga Vi. Ia agak menyesalinya sebab kesulitan menghubungi mereka di saat-saat seperti ini.

"Vi dipindahkan ke rumah sakit mana, Sus?"

"Maaf, tapi keluarga Viero tidak memberi tahu kami tentang itu."

Dehan menghela napas pelan. "Boleh saya tahu siapa dokter yang mengurus kepindahan Vi?"

Suster tersebut kembali menatap layar komputer, mencari informasi dari data pasien milik Vi lebih lanjut. Sementara Dehan menunggu dengan harap-harap cemas. Seandainya saja ponsel Vi tidak rusak, mungkin tidak akan sesulit ini Dehan mencari laki-laki itu.

"Dokter Vania." Suster tersebut akhirnya kembali bersuara. "Dia yang mengurus semuanya."


Bersambung.....

Sabar yaa Arin, hidup itu emang banyak tantangannya, yang banyak pesonanya itu baru Kim Taehyung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabar yaa Arin, hidup itu emang banyak tantangannya, yang banyak pesonanya itu baru Kim Taehyung. 😇

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang