Chapter 39 : Honestly

4.4K 658 73
                                    

'Tahapan yang paling tulus dari mencintai adalah membiarkannya bahagia bersama orang lain yang dia cintai.'

*****

"Kamu pulang ke apartement, kan?" Jeiren menghentikan mobilnya sewaktu lampu merah di jalan raya tersebut baru saja menyala. Laki-laki itu menoleh. Melihat Arin yang sejak tadi tidak bersuara dan menatap lurus ke depan kaca mobil. Gadis itu tampak mengangguk pelan sebagai jawaban. "Aku pernah dengar tentang dia," katanya tiba-tiba.

Arin mengernyitkan alisnya. Menatap Jeiren dengan sorot bingung. "Siapa?"

"Vi," jawabnya pelan. "Aku dengar ibu pernah menjadi pengacara penggemarnya Vi. Katanya dia dituduh menculik Vi di rumah sakit, tapi karena nggak ada bukti yang nunjukin dia bersalah jadi dia dibebaskan. Kamu pasti tahu beritanya juga, kan? Berita itu bahkan sempat heboh sebulan yang lalu."

Ucapan Jeiren berhasil membuat Arin terjengit. Sesaat gadis itu meneguk ludahnya dalam dan kembali mengangguk namun kali ini agak ragu-ragu. "Yah aku tahu."

"Pasti ada alasan kenapa dia bisa di tuduh seperti itu." Jeiren menambahkan. "Entah siapa yang salah di sini. Dunia terkadang bisa membuat kita merasa nggak adil, tapi bukan berarti kita harus menyalahkan dunia atas kejadian buruk yang kita alami. Mungkin kejadian itu terjadi karena kita yang kurang berhati-hati."

Arin terdiam memperhatikan jalanan kota yang lumayan ramai di depannya. Tidak mampu berkata-kata lagi karena ucapan Jeiren memang benar. Arin merasa tersindir secara tidak langsung. Selama ini ia terlalu sering mengeluh, padahal ia sendiri yang sering mengambil keputusan tanpa pikir panjang dan berakhir menyesal.

"Oh, ya. Aku pikir kamu nggak bakalan pulang jam segini. Bukannya kebanyakan cafe itu tutup jam sepuluh malam, ya? Aku nggak tahu kalo ada cafe yang udah tutup masih sore."

Arin mengerjap. "Ah, sebenarnya chapelia juga tutup setiap jam sepuluh malam, kecuali hari Sabtu-Minggu. Biasanya weekend kami lembur bergantian sekitar satu sampai dua jam. Tergantung banyaknya pelanggan dan yah... kalo kerjaan lagi numpuk kami juga biasanya lembur."

"Begitu, ya?" Jeiren sesekali mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada stir mobil, kemudian menatap Arin di sampingnya agak ragu. "Ngomong-ngomong, kapan kamu libur?" tanyanya.

"Besok seharusnya aku libur, tapi karena ada acara ulang tahun di chapelia jadi aku masih belum tahu. Mungkin aku dapat jatah libur antara dua atau tiga hari setelah acaranya selesai? Aku masih belum tahu pasti, memangnya kenapa?"

"Sebenarnya ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu."

Arin menautkan kedua alisnya, menatap Jeiren. "Apa itu?"

"Perjodohan kita," ucap Jeiren seraya menatap Arin yang masih belum bereaksi. "Aku pernah bilang kalo
aku berharap ini terakhir kalinya aku ikut kencan buta. Itu bukan karena aku muak terus-terusan di jodohin, tapi aku harap aku bisa lebih dekat lagi sama kamu, Arin. Kalo kamu nggak keberatan, aku harap kita bisa lebih dekat lagi lebih dari sekedar teman, gimana menurut kamu?"

Arin tidak langsung menjawab. Sesaat ia memikirkan apa yang akan dikatakannya kepada Jeiren dan ketika pandangan keduanya bertemu, Arin lekas menunduk. "Aku masih belum tahu," kata Arin pada akhirnya. "Jeiren." Arin mencoba menatap laki-laki itu dengan serius, meski kini ia sedang merasa gugup. "Kamu tahu siapa penggemar Vi yang kamu maksud itu?"

Jeiren menatap Arin dengan kening yang berkerut. Ia terdiam beberapa saat. Jika ditanya apakah ia tahu siapa penggemar Vi yang ia maksud itu? Jawabannya jelas tidak. Ia hanya tahu berita itu dari ibu dan membacanya sekali di sosial media. Selebihnya Jeiren hanya mendengarnya dari beberapa rekan kerjanya di kantor pada saat jam istirahat berlangsung.

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang