Chapter 26 : Checkmate

5.3K 902 188
                                    

Temen-temen jangan lupa vote dan spam comment yaa^^

______________________________________


'Aku hanya terlalu jauh darimu karena itulah aku akan kalah dengan seseorang yang lebih dekat denganmu.'

*****

Arin ikut keluar dari mobil setelah mereka sampai di gedung pengadilan pusat yang tidak begitu jauh dari kantor polisi. Area gedung tersebut mendadak riuh. Dengan sigap dua orang polisi yang sejak tadi turut mengawasinya kembali mencekal lengannya dengan begitu erat. Beberapa wartawan mulai mengerubunginya, beberapa penggemar Vi mulai mendekat, dan bunyi jepretan kamera disertai cahaya itu seakan memperkeruh suasana, sehingga polisi harus sigap menahan mereka.

"Apa alasan anda menculik Vi?"

"Apa yang membuat anda terobsesi dengannya?"

"Apakah ini penculikan yang anda rencanakan?"

"Apakah anda ada hubungannya dengan kecelakaan Vi?"

Arin mendengar pertanyaan itu dengan jelas, selebihnya ia hanya mendengar suara ribut-ribut yang kemudian jadi terdengar berdengung. Arin ingin sekali membantah, ia ingin mengatakan kalau semua itu tidak benar, tetapi lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kalimat tersebut. Terlebih ia masih digiring untuk cepat melangkah masuk, padahal tubuhnya sedang gemetaran hebat sebab ini terlalu mengejutkan bagi gadis itu.

"Brengsek!"

"Aku harap kamu lebih menderita lagi!"

"Jauh-jauh dari Vi!"

Satu, dua, tiga lemparan telur busuk berhasil mengenai kepalanya. Arin tertegun dengan napas yang perlahan mulai tercekat. Apalagi sekarang ia dilempari dengan beberapa kerikil yang membuatnya meringis.

"Dasar sialan!"

"Kurang ajar!"

"Kamu pantas dihukum sampai mampus!"

Arin menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang perlahan mulai memucat. Bahkan ia tidak bisa mengusap telur busuk yang mengalir membasahi wajahnya. Ia tidak pernah membayangkan akan diperlakukan seperti ini. Keningnya jadi terasa sakit, hatinya terasa mencelos. Arin tidak tahan lagi, air mata jatuh tanpa permisi.

"Parasit!"

"Lebih baik kamu mati!"



•••••



Gedung pengadilan pusat tersebut tampak luas, akan tetapi banyak orang yang perlahan datang, sehingga ruangan tersebut jadi mendadak pengap dan penuh sesak. Di kursinya yang paling depan, Vi memaku pandangannya kepada sosok yang berada di depannya tersebut. Jarak mereka terbilang cukup jauh, tetapi Vi dapat melihat dengan jelas seberapa kacaunya kondisi gadis itu.


Vi berusaha menetralkan debaran dadanya yang terasa gelisah seraya memandangi Arin yang masih menunduk. Sepertinya gadis itu enggan menatapnya barang sedetik pun, padahal sejak tadi ia memandanginya terus-menerus.

Bohong jika selama ini Vi tidak memikirkan gadis itu. Bohong jika ia mengatakan masih sangat menyukai Rhea, padahal pada kenyataannya ia tidak bisa melupakan Arin yang menjaganya, Arin yang membayar biaya rumah sakitnya, bahkan Arin yang teramat mengkhawatirkannya. Vi merasa bersalah kepada gadis itu sebab ia justru membuatnya berada dalam kondisi tersebut.

Sesaat pandangan mereka bertemu. Vi membeku begitu melihat seberapa redupnya sorot mata Arin. Bahkan ia tidak begitu menyadari Rhea di sampingnya yang menatapnya dengan khawatir.

Bohong jika ia merasa baik-baik saja ketika melihat Arin yang tampak putus asa di depan sana. Bohong jika ia masih tidak menyadari perasaannya sendiri. Sebab Vi tahu dan ia begitu menyadari bahwa dirinya sudah memiliki perasaan lebih kepada gadis itu.




•••••




Arin pernah membaca di salah satu postingan di media sosialnya. Katanya, ketika kamu mencintai seorang selebriti, maka kamu hanya akan menjadi penggemarnya saja, tidak lebih. Sebab dia terlalu sulit untuk kamu temui, sebab dia terlalu tinggi untuk kamu raih. Dan Arin menyadari bahwa kalimat itu bukan hanya untuk membuatnya tahu diri, tetapi pada kenyataannya memang seorang idola itu sangat sulit untuk dimiliki.

Sesaat Arin menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan mata yang terasa sakit. Cahaya blitz dari kamera wartawan masih belum berhenti memotretnya, tetapi ia tetap berusaha melihat orang-orang yang ia kenali dengan jelas, sebab nanti ia mungkin akan sangat merindukan mereka. Ada mamanya di sana yang sedang terisak, ada Vania yang berusaha menenangkan mamanya, ada Bian yang duduk bersebelahan dengan Jino, ada manager Vi, ada orangtua Vi dan Bian yang baru ia lihat hari ini, serta-Arin terjengit ketika melihat sosok itu.

Rhea. Wanita yang menggenggam tangan Vi itu membuatnya tercekat. Pandangannya beralih ke arah perut wanita itu dengan dada yang terasa seperti terhimpit benda berat. Begitu sesak sehingga Arin mengalihkan pandangannya dan tidak sengaja beradu tatap dengan Vi. Sepertinya Vi memang benar-benar membencinya sebab laki-laki itu terlihat menatapnya dengan sorot dalam. Arin tidak dapat berkutik lagi. Matanya kembali terasa panas dan berair.

"Arin Naydia menculik idolanya, Viero Adya Kenan dari Rumah Sakit Darria. Lalu dia membawanya pergi ke Rumah Sakit Aurora setelah Viero mendapatkan perawatan beberapa hari usai kecelakaannya."

Arin meremas jari-jari tangannya yang terasa berkeringat. Ia mengerjap begitu merasakan pening tiba-tiba merangsak di kepalanya. Suara jaksa penuntut yang tegas jadi terdengar tidak begitu jelas. Bahkan Arin tidak menyadari seorang pengacara di sampingnya yang menatapnya dengan khawatir. Ia masih berusaha tetap sadar, meski pandangannya terasa semakin berbayang dan perlahan terlihat menggelap.

"Untuk itu, saya akan menuntut Arin Naydhia atas penculikan tersebut-"

Tubuh Arin ambruk. Sontak membuat orang-orang di dalam gedung terkejut melihat gadis itu yang terbaring tak sadarkan diri. Sementara Vi entah bagaimana laki-laki itu sudah melesat untuk meraih tubuh Arin. Mendekapnya sehingga ia dapat merasakan panasnya tubuh gadis itu. Vi menatap Arin dengan khawatir, dadanya terasa bergemuruh, kemudian ia cepat membawanya pergi dari tempat itu.

Bersambung.....


Capek banget jadi Arin 🤧

BTW mampir ke cerita baru aku yaa.. cek di profilku, terima cash 🤗

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang