Chapter 36 : Answer

4.8K 703 58
                                    

'Jangan terlalu mencintai seseorang, yang belum tentu akan kembali membalas perasaanmu.'

*****

"Ayo kita berkencan!"

Arin membuka matanya terkejut. Gadis itu menatap langit-langit kamar dengan posisinya yang masih terlentang. Sesaat mengumpulkan nyawanya yang masih belum terkumpul, pun dengan sisa-sisa kewarasan yang nyaris saja lenyap. Itu adalah kalimat pertama yang ia ingat pagi ini. Terasa seperti mimpi, namun Arin ingat dengan jelas apa saja yang telah dilaluinya kemarin, sampai ia pulang ke rumah dengan kaki yang gemetar.

Berawal dari pertemuannya dengan Jeiren di sebuah cafe, pergi ke toko hadiah, dikejar penggemar Vi, terjebak di basement mobil, mampir ke apartement Vi dan mengganti pakaiannya, sampai hampir saja berci—Arin segera mengerjapkan matanya. Dari semua kejadian kemarin, yang paling terlintas di benaknya adalah saat Vi mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. Astaga!

Jika saja Bian tidak datang saat itu ia pasti sudah... "Arggghhhh!" Arin berguling ke samping dan menubrukkan wajahnya ke bantal. "Aku bisa gilaaaa!" erangnya setengah histeris. Kejadian tersebut benar-benar di luar dugaannya. Apalagi kemarin ia sempat menendang Vi hingga laki-laki itu tersungkur dan mengerang menahan sakit.

"Kalo aku ketemu sama Vi lagi, aku harus ngapain?" Setengah meringis, Arin menekan pelipisnya dengan kedua tangannya. Pikirannya tiba-tiba saja terasa berkecambuk. Apakah Vi serius dengan ucapannya? Mengapa harus dirinya yang di ajak berkencan? Memangnya apa yang sudah ia lakukan sampai Vi bisa mengucapkan kalimat tersebut?

Arin termenung beberapa saat. Jika ia benar-benar berkencan dengan Vi, ia pasti akan semakin dibenci oleh penggemarnya, kan? Vi pasti akan merasa bersalah dan pada akhirnya dia bisa saja memilih putus dengan dirinya. Perlahan wajah Arin berubah sendu. Andai saja ia tidak dituduh menculik Vi. Andai saja ia tidak bertemu dengan idolanya di pengadilan. Arin pasti akan menerimanya tanpa pikir panjang.

"Aku harusnya senang, tapi kenapa aku malah merasa serba salah?" Arin bermonolog. Dengan malas ia bangkit dari tempat tidurnya. Melangkah gontai menjuju pintu seraya memasang wajah melas, kemudian ia pergi ke dapur dan melihat mamanya di sana. Sedang menaruh piring di wastafel, lalu mulai mencucinya.

"Bagus banget, ya, anak perawan jam segini baru bangun. "

Mendengar sindiran tersebut, Arin yang baru saja duduk langsung mengerucutkan bibirnya. "Mama apaan, sih. Ini kan baru jam delapan pagi," ucapnya terdengar lirih, lalu ia menuangkan air minum ke dalam gelas. "Lagian besok Arin udah masuk kerja lagi. Jadi, Hari ini Arin mau santai-santai aja. Arin lagi males ngapa-ngapain."

"Yah, tetap aja, yang kayak gitu tuh jangan dibiasain! Nanti kalo kamu udah nikah, emangnya kamu nggak akan malu bangun jam segini?" selaknya terdengar sengit. Mira menoleh sebentar selagi tangannya sibuk membasuh piring. "Hari ini kamu jadi pulang ke apartement, nggak?"

Arin mengangguk kecil. Ia kembali menyimpan gelas ditangannya setelah meneguk air minum tersebut hingga tersisa setengahnya. "Jadi, nanti sore," jawab Arin setengah lesu. Entah kenapa hari ini perasaannya jadi berubah tak karuan. "Arin nggak mungkin tinggalin Vania di apartemen sendirian. Apalagi dia udah banyak bantu Arin."

"Kalo gitu nanti beresin rumah dulu sebelum pergi." Mira mengelap tangannya dengan handuk kecil, kemudian mendekati Arin yang masih berdiam diri di meja makan. "Ngomong-ngomong gimana kemarin sama Jeiren?" tanyanya yang membuat Arin langsung terjengit. "Semalam mama mau tanya itu, tapi kamu udah tidur. Jadi, gimana menurut kamu? Jeiren baik nggak orangnya? Kamu suka nggak sama dia?"

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang