Chapter 1 : Limerence

25.3K 3.7K 2.1K
                                    

'Bahkan jika idolamu tidak menikah dengan orang lain pun, belum tentu dia akan menikah denganmu.'

*****

"Udah dong, jangan nangis terus!" Vania berucap jengah. Gadis berpakaian rapi itu duduk di depan minimarket sambil menghela napas panjang.

Di depannya ada Arin yang tengah terisak. Tidak terlalu keras sebenarnya, tetapi berhasil menyita perhatian beberapa orang, sampai anak-anak yang baru keluar membeli camilan menatap gadis itu dengan polosnya.

"Arin? Isshh! Liat tuh! Kita diliatin anak kecil. Kamu kalo mau nangis nyari tempat dulu, dong! Jangan di tempat kayak gini, malu!" Vania mengguncang bahu Arin dengan keras. Berharap agar gadis itu menghentikan tangisnya.

"Gimana aku enggak nangis, Vania! Bias aku mau nikah! Vie mau nikah sama pacarnya. Aku enggak rela!"

Arin menekan setiap katanya sambil terisak. Ia mendorong ponselnya yang tergeletak di atas meja ke depan Vania. Lantas kembali menjatuhkan kepalanya di atas lipatan tangan. Menyembunyikan wajahnya yang basah karena menangis.

"Kalo Vie nikah sama orang lain, nanti aku nikah sama siapa?" Arin tahu bahwa Viero juga manusia biasa. Dia bisa merasakan cinta, bisa mencintai, bisa pacaran, dan bisa menikahi seseorang yang dicintainya untuk menjadi pendamping hidup.

Tetapi Arin tidak tahu jika ditinggal nikah oleh bias sendiri rasanya akan sesakit ini. Sangat luar biasa menyesakkan sampai Arin tidak kuat untuk menahan isakannya sendiri.

Masa bodoh. Ia tidak memperdulikan anak-anak yang tengah menontonnya secara terang-terangan di bangku sebelah. Tepatnya di belakang tubuh seseorang yang Arin panggil dengan sebutan Vania. Arin tidak rela Viero akan menikah! Pokoknya ia patah hati!

Vania kembali menghela napas. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Arin yang menangis tetapi ia yang menahan malu. Benar-benar teman sejati. "Nikah sama jodoh kamu, lah!"

Arin menatap Vania tak percaya. "Jodoh aku itu Vie! Aku cuma mau nikah sama dia! Dia jodoh aku, titik!"

"Lagian kamu ini, kan, udah gede. Udah seharusnya nyari cowok buat dijadiin pasangan hidup. Bukannya terus-terusan ngefans sama orang yang enggak tau kamu hidup atau enggak!"

Arin terdiam membeku saat Vania mengucapkan kalimat itu. Ia menghembuskan napas berat. Sedang menahan air matanya walaupun tak mampu.

"Kalo aku bisa. Dari dulu aku udah pacaran sama cowok lain. Bukannya ngejomblo kayak gini!" Selak Arin tak terima. Susah payah ia bersuara dengan nada ketus, tetapi sayangnya kenyataan terlalu menyakitkan sampai dia kembali terisak.

Arin sudah tidak peduli lagi Vania akan menganggapnya seperti apa. Entah itu Fangirl halu, manusia halu, atau pun makhluk halu. Yang jelas Arin ingin menangis sekencang-kencangnya untuk saat ini. Hatinya benar-benar sakit.

"Aku udah terlanjur cinta sama Vie. Bukan sebagai fans ke idolanya tapi sebagai cewek ke cowok."

"Sekarang gini, deh. Aku mau tanya sama kamu," jedanya. Vania menunggu Arin menyeka sudut matanya yang basah. "Kamu pernah ketemu dia enggak? Ketemu sama Vie?"

Arin mengangguk cepat. "Pernah," jawab Arin dengan yakin. Hal itu mengundang raut penuh tanya dari Vania.

"Di mana?"

"Di HP sama di TV."

Vania berdecak. Sudahlah. Untuk apa pula susah payah menengkan gadis itu. Toh, akan berakhir dengan percuma. Viero Adya Kenan itu aktor terkenal. Vania juga tahu kalau laki-laki itu akan terlihat di televisi.

"Itu namanya bukan ketemu! Tapi kamu cuma liatin dia sampai baper. Maksud aku, kamu pernah enggak ketemu dia secara langsung?" Sial! Sepertinya mulut Vania masih ingin mengomel panjang lebar.

Arin bungkam. Ia memalingkan wajah untuk menghindari tatapan jengah dari Vania. Enggan merespon kalimat yang keluar dari mulut gadis itu.

"Enggak pernah kan?" Vania berucap dengan pertanyaan yang jelas-jelas dia sendiri tahu jawabannya. "Kamu terlalu ngehaluin dia, sampai lupa sama kehidupan kamu yang sesungguhnya."

Arin memjamkan kedua matanya sejenak. Ia menarik napas dalam. Berusaha menenangkan diri meski ucapan Vania terasa menohok ulu hatinya. Walau bagaimana pun pendapat Vania itu tidak benar.

"Aku cinta sama dia itu dalam keadaan sadar, bukan berhalusinasi."

Sesaat kemudian tidak ada tanggapan apapun dari Vania. Gadis itu memilih untuk membuka tutup botol minumannya yang sendari tadi tersimpan di kantung plastik. Meneguk isinya guna membasahi kerongkongan yang terasa kering.

"Andai aja rumah aku deket sama rumah Vie. Mungkin aku punya sedikit kesempatan buat nikah sama dia." Arin tersenyum miris sambil bertopang dagu. Sedang meratapi kisah cintanya yang begitu pilu.

"Jodoh itu enggak bisa ditentuin sama jarak, Arin! Sedekat apapun jarak kamu sama Viero, kalo misalkan kalian enggak jodoh, kalian tetap enggak bakal nikah!"

Vania menghela napas jengah. "Udah, sekarang kamu pulang terus tidur! Besok aku traktir kamu, deh. Aku mau berangkat sekarang, Rin. Banyak pasien yang harus aku tanganin."

Vania berucap sambil melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih, tetapi Arin malah menjatuhkan kepalanya di atas meja. Terlihat sangat putus asa.

"Kamu dulauan aja, Van. Aku enggak bakalan bisa tidur, deh, kayaknya."

Entah keberapa kalinya helaan napas terdengar dari mulut Vania. "Terus kamu mau apa? Mau hancurin pernikahan bias kamu itu? Emangnya kamu tau alamat gedungnya?"

Pertanyaan itu membuat Arin jadi tertawa miris. Andai saja dia bisa. Mungkin Arin sudah membawa Viero pergi bersamanya tanpa perlu repot-repot menangis. Apalagi sampai menjadi tontonan anak kecil di depan minimarket begini.

"Aku enggak ada niatan buat ngehancurin pernikahan Vie. Aku cuma mau sumpahin dia," balasnya. Karena hanya itu yang bisa Arin lakukan untuk saat ini. Menyumpahi Viero.

Viero Adya Kenan, aku sumpahin kamu enggak bakalan bisa nikah.

Kecuali sama aku!

Bersambung.....


Viero:

Maaf, tapi kamu siapa? Aku enggak kenal.

😭😭😭😭

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang