Chapter 17 : Magoa

6K 1.2K 168
                                    

'Ternyata ada yang lebih menyakitkan dari patah hati, yaitu putus dengan harapan sendiri.'

*****

Amarah lekas melambung tinggi di dalam dirinya. Arin membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia tidak mungkin kembali ke Caphelia dengan wajah berantakan sehabis menangis. Apalagi sisa-sisa air mata yang hampir mengering, kini kembali jatuh membasahi pipinya tanpa permisi.

Tak perduli seberapa rasionalnya ia berpikir tentang selebriti yang berkencan secara diam-diam. Entah itu karena karirnya atau karena ingin menyembunyikannya dari penggemar. Sekalipun orang-orang mengatakan bahwa selebriti juga manusia biasa—yang artinya membutuhkan pendamping hidup sekaligus menginginkan kisah cinta romansa.

Persetan!

Dari lubuk hati yang paling dalam, perasaan sedihlah yang pertama kali dirasakan oleh seorang penggemar, bukan otak yang mengingatkan bahwa idola mereka juga membutuhkan pasangan.

Berkencan dan menikah memang bukan sebuah kejahatan. Tidak ada hak untuk seorang penggemar menentang hubungan mereka selain menerima dengan lapang dada, mengatakan 'Aku mendukungmu dengan kekasihmu--sial!' pada akhirnya menangis adalah cara yang paling realistis sebab dia sudah terlanjur mencintai dan tidak bisa menghentikan perasaannya sendiri.

Arin tidak bisa lagi menahan dirinya. Gadis itu melangkahkan kaki ke dekat dinding. Merobek poster Vi. Semuanya. Sampai tak tersisa di dinding kamarnya. Sampai robekan-robekan kecil itu berserakan di lantai. Karena jika benda itu masih tetap terpasang, Arin takut akan semakin mencintai Vi. Sudah cukup ia merasakan patah hati.

Tubuh Arin merosot. Terduduk bersama robekan poster di pinggir tempat tidurnya sambil menekuk lutut. Gadis itu menopang kedua tangannya untuk menangkup wajahnya yang basah. Perasaannya jadi campur aduk. Entah itu karena Vania yang tidak memberitahu Vi adalah sepupunya, entah karena Rhea yang hamil, atau ia yang tidak tahu malunya memindahkan Vi ke Rumah Sakit Aurora agar Rhea tidak dapat membawanya pergi ke luar negeri. Semuanya seakan bercampur saling menghimpit.

Arin merasa bahwa ialah orang yang paling jahat di sini. Bagaimana bisa ia memisahkan Rhea dengan Vi ketika Rhea tengah hamil dan membutuhkan laki-laki itu? Bagaimana perasaan Rhea ketika tahu bahwa Vi menghilang di ruang rawatnya? Dan bagaimana perasaan Vi ketika dia bangun dan yang pertama kali dilihatnya adalah Arin bukan Rhea calon istrinya? Bukankah laki-laki itu akan merasa kecewa? Apakah... Apakah Vi akan jadi membencinya?

Arin semakin terisak setelah ia memikirkan banyak kesalahan yang ia perbuat. Padahal ia hanya ingin melihat Vi membaik dan tidak ditelantarkan oleh Rhea, tapi mengapa harus ia yang merasa bersalah? Apakah ia kurang baik selama ini? Apakah dulu ia kurang berusaha untuk menemui Vi? Apakah harus ia saja yang menderita di sini?

Arin lantas menyeka air matanya tersebut. Gadis itu meluruskan kaki kanannya sejenak untuk merogoh ponselnya di saku celana. Hendak menghubungi Jino dengan alasan ia miliki urusan mendadak, tidak enak badan, atau semacamnya yang hampir serupa. Menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya ia tengah patah hati sendirian. Bukan karena putus dengan pacar, melainkan putus dengan harapannya sendiri.

Namun alih-alih menghubungi Jino, gerakan jemarinya terhenti begitu melihat nama kontak 'Mama' yang muncul di riwayat panggilan. Berada di urutan ke sepuluh setelah Vania dan Bian yang menduduki urutan pertama hingga ke sembilan. Saling berselingan karena dua orang itulah yang paling sering dihubungi Arin.

Segera mengarahkan ponselnya ke dekat telinga, Arin lekas menunggu panggilan itu terhubung.

"Arin? Tumben banget telepon mama jam segini. Kamu libur?"

"Ma—" Arin menggantungkan kalimatnya. Ia menyadari suaranya terdengar bergetar. Mendengar suara wanita itu malah membuat matanya kembali memanas. Arin menggigit bibir bawahnya kuat sembari menjauhkan ponselnya dari telinga. Sejenak menarik napasnya dalam-dalam.

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang