Chapter 15 : Hidden

6.5K 1.3K 142
                                    

'Jangan terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Di luar sana, masih ada hal lain yang perlu kamu ketahui.'

*****

"Bu Lin? mau makan siang sekarang?" Vania mengernyitkan alis usai melihat Bu Lin membuka pintu ruang kerjanya. Di ambang pintu, wanita berjas dokter itu mengangguk dan mulai melangkah masuk ke dalam ruangan setelah kembali menutup pintu.

Vania melihat arloji di lengan kirinya sebentar. Masih tersisa lima belas menit lagi sebelum jam istirahat dimulai. Namun Bu Lin sepertinya terlalu cepat datang, dan ini agak ganjil. Sejauh yang Vania tahu, Bu Lin itu selalu telat pergi ke kantin dan biasanya Vania duluan yang pergi ke ruangannya untuk mengajaknya makan siang bersama.

"Kamu belum selesai?" tanya Bu Lin ketika ia duduk dan melihat beberapa berkas yang bertumpuk di atas meja Vania.

Vania dengan cepat menggeleng. Menampik ucapan Bu Lin sebab beberapa berkas tersebut sudah selesai dikerjakannya, hanya saja belum sempat ia rapikan. "Udah selesai kok. Tapi lagi nunggu Arin ke sini. Aku tadi pesan kue dan Arin katanya mau anterin. Bu Lin nggak apa-apa nunggu sebentar, kan?"

Wanita itu mengangguk."Masih ada waktu lima belas menit lagi. Sambil nunggu temen kamu datang, ada sesuatu yang harus ibu bicarain sama kamu, Van," katanya dengan sorot mata yang perlahan terlihat serius. "Ini tentang Rhea."

"Rhea? Kenapa emangnya?"

"Seminggu yang lalu dia pingsan di depan lorong VIP." Bu Lin menjeda ucapannya sejenak. Ia menghela napas pelan. "Ini penting, tapi maaf baget ibu baru bisa ngasih tau kamu sekarang. Ibu nggak sempat hubungin kamu waktu itu. Kamu juga lagi shift malam jadi ibu nggak bisa temuin kamu."

Vania hanya mengangguk dan mendengarkan wanita tersebut. Ia paham betul bagaimana sibuknya menjadi dokter di rumah sakit sebesar ini. Apalagi Bu Lin adalah dokter kandungan yang padat dengan jadwal check-up. "Nggak apa-apa. Lagian aku nggak deket sama Rhea, kok. Dia cuma calon istri sepupu aku. Ibu nggak perlu khawatir."

"Ibu rasa kamu perlu tau tentang ini, Van. Apalagi Viero itu sepupu kamu." Bu Lin mulai menyatukan jemarinya di atas meja tersebut. Menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang serius.

Vania terdiam. Keningnya tampak berkerut meskipun samar. Ia masih tidak paham sehingga ia tidak bisa menebak apa maksud wanita itu. "Terus apa hubungannya Rhea yang pingsan dengan Vi?"

"Jelas ada hubungannya, Vania. Karena Vi itu calon suaminya!"





•••••





"Ibu Rasa kamu perlu tau tentang ini, Van. Apalagi Viero itu sepupu kamu."

Arin jadi mematung usai mendengar suara tersebut. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk meski kini terdapat celah di antara dinding dengan pintu. Arin berharap ia salah dengar. Ia menunggu respon Vania, selagi genggamannya pada knop pintu terasa semakin menguat.

"Terus apa hubungannya Rhea yang pingsan dengan Vi?"

Suara Vania berhasil membuat Arin mencelos. Tidak ada sangklan apa pun dari gadis itu. Jadi, itu benar? Vania sepupu Vi? Mereka sudah lama bersahabat, tetapi Arin kini jadi merasa ia seperti orang asing.

"Jelas ada hubungannya, Vania. Karena Vi itu calon suaminya!"

"Apa maksud ibu—"

"Rhea hamil."

Bruk!

Bungkusan kue itu terjatuh ke lantai. Sontak membuat dua orang di dalam ruangan tersebut mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Dan Arin nyaris menahan napas sebab tanpa sadar ia sudah membeku di ambang pintu. Lututnya terasa melemas. Ia baru saja kehilangan harapan.

"Arin?"

Lantas Arin berjongkok sebentar untuk mengambil bungkusan tersebut. Tidak memperdulikan Vania yang mulai berdiri dan melangkah menghampirinya ke ambang pintu dengan terkejut.

"Arin—"

"Ini pesanannya. Aku permisi." Dengan cepat Arin memotong ucapan Vania, kemudian ia berlalu dari ruangan itu. Sebisa mungkin Arin menghindar saat kedua matanya sudah mulai terasa perih. Tujuh tahun mereka bersahabat, membuat Arin yakin bahwa tidak ada satu pun yang mereka sembunyikan satu sama lain. Namun sepertinya Arin salah besar. Vania--bagaimana bisa gadis itu tidak memberitahunya bahwa ia adalah sepupu Vi?

"Rhea hamil."

Hamil.

Hamil.

Rasa-rasanya Arin ingin sekali membenturkan kepalanya sampai ia tidak sadarkan diri. Besoknya, biarkan ia terbangun dan menganggap semua ini hanya mimpi. Ini tidak benar! Rhea hamil? Rhea hamil anaknya Vi, begitu? Yang benar saja!

Ini pasti mimpi buruk!

Arin tak kuasa menahan Air matanya untuk tidak jatuh bebas. Ia terisak pelan disaksikan beberapa perawat dan pengunjung di lorong rumah sakit. Sungguh, Ini lebih menyakitkan daripada mendengar berita Vi yang akan menikah waktu itu. Ini lebih menyakitkan dari apa pun.

"Arin tunggu!"

Arin tidak mengindahkan panggilan tersebut. Ia mempercepat laju larinya ketika tahu Vania sedang mengejarnya dari jauh. Sesekali ia menyeka air matanya yang terus merembes jatuh. Memangnya apa yang akan gadis itu katakan jika ia berhenti? Arin tidak mau mendengar apa pun lagi selain pergi dari tempat ini.




•••••

"Arin!"

Sebelum Arin benar-benar pergi dari jangkauannya, dengan napas memburu, Vania berhasil menarik tangan gadis itu sehingga Arin berhenti dan menatapnya dengan sorot kecewa penuh. Vania sudah menghabiskan banyak tenaga untuk mengejar juara lomba lari seperti Arin, jadi ia akan cepat menjelaskan tanpa perlu basa-basi.

"Lepas!" Arin menghentak tangannya agar terlepas dari cekalan Vania, tetapi jemari itu justru semakin menguat pada pergelangan tangannya.

"Aku bisa jelasin semuanya, Rin. Kamu dengar percakapan aku sama Bu Lin, kan?"

Arin memejam kesal mendengar pertanyaan tersebut. Kalimat itu sungguh terdengar menjengkelkan di telinganya. "Aku enggak dengar apa-apa! Lepasin tangan aku, Van!"

"Bohong! Kalo kamu enggak dengar, mana mungkin kamu langsung pergi kayak gini! Kamu biasanya ngadem di ruangan aku sampai aku usir!"

Arin menghembuskan napas kasar seraya memalingkan atensinya ke arah lain. Tidak ingin melihat Vania yang tampak merasa bersalah padanya. Arin berusaha mencari objek lain yang tidak perih di mata, namun naas tatapannya malah terpaku pada name tag yang ada di jas Vania.

Vania Adyalin K.

"Jadi, K di nama panjang kamu itu Kenan, sama kayak Vi?" Arin mendengus sembari menatap Vania dengan sorot kecewa. Sementara Vania kini mengatupkan bibirnya rapat seakan tak ingin menjawab. Tidak perlu dijawab tentu saja sebab Arin tahu diam itu artinya iya.

Bersambung.....

Sampai sini ada yang bisa nebak ke depannya kayak gimana? Jangan lupa kasih pendapat kalian yaa^^



I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang