Chapter 2 : Serendipity

17.2K 3K 1K
                                    

'Bisa-bisanya aku mencintai seseorang yang belum pernah aku temui di kehidupan nyata.'

*****

Bagi Arin menjauhkan diri dari ponsel dan televisi itu adalah sebuah kemustahilan. Tak bisa ditinggalkan sebab kegiatan itu sudah mendarah daging, melekat kuat dalam dirinya semenjak ia menyukai Viero.

Namun hari ini terasa berbeda. Arin enggan melakukan keduanya. Entah itu memainkan ponsel atau menyalakan televisi, tidak ada satu pun yang Arin pilih, selain meringkuk di atas tempat tidur. Menatap jendela kamarnya yang masih tertutup gorden, juga menunggu Vania yang belum pulang dari rumah sakit.

Arin menghela napas panjang. Dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya asal. Merasa gerah karena ini sudah hampir tengah hari. Dia masih belum ingin beranjak dari tempat tidur, setelah kemarin malam bisa memejamkan matanya dini hari menjelang subuh.

Merubah posisi tidurnya menjadi telentang, Arin kini menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Seharusnya Arin tahu bahwa mencintai Viero tidak akan semudah apa yang ia bayangkan. Mencintai laki-laki itu sama saja seperti patah hati yang sengaja direncanakan.

Ponsel yang tergeletak di atas nakas tiba-tiba saja berdering. Arin membiarkan deringan itu berakhir dengan sendirinya. Jangankan untuk mengangkat telepon, Arin bahkan tidak berniat untuk menyentuh barang itu sama sekali.

Semakin lama, deringan ponsel terasa semakin kencang dari sebelumnya. Terdengar berulang-ulang hingga membuat Arin berdecak. Akhirnya dengan raut wajah tak bersahabat Arin bangkit. Ia mengambil ponselnya dengan wajah kesal.

"Hallo--"

"Arin! Kenapa baru diangkat, sih? Kamu enggak ada niatan mau bunuh diri, pas aku enggak ada di apartemen, kan?"

Vania menyahut tak sabaran di seberang sana. Suaranya terdengar menuntut penuh selidik. Sementara Arin yang mendengar itu berdecak. Ia tidak pernah menyangka Vania bisa berpikiran seperti itu padanya.

"Tadinya enggak ada, tapi kamu malah ingetin. Makasih. Aku jadi kepikiran."

"Jangan bunuh diri dulu, Rin. Vie enggak jadi nikah!"

Arin memutar bola matanya malas. Memangnya siapa yang mau bunuh diri, sih? Enggak ada untungnya juga bagi Arin. Kalau dia mati, dia enggak akan pernah bertemu dengan Viero. Rugi.

"Kamu enggak perlu ngehibur aku, Van. Aku enggak ada niatan buat bunuh diri, kok. Aku masih ingat punya cicilan. Kamu tenang aja."

"Aku serius, Arin! Vie enggak jadi nikah. Dia jadinya masuk rumah sakit!"

Arin mebeku mendengar nada bicara Vania yang seperti itu. Jantungnya jadi berdetak tak karuan. Dari sambungan telepon, samar-samar Arin mendengar helaan napas panjang dari Vania.

"Viero kecelakaan."

•••••

Sejak pagi, media terus mengabarkan berita Viero yang kecelakaan di malam hari sebelum hari pernikahannya. Hal itu membuat beberapa wartawan serta para penggemar Viero menunggu di depan rumah sakit sampai saat ini.

Hujan belum sepenuhnya reda, masih ada titik-titik air yang jatuh dari langit, tetapi malam yang dingin tidak membuat mereka menyerah untuk mendapatkan informasi. Termasuk Arin yang kini berhasil menerobos masuk ke dalam lobi rumah sakit.

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang