19 | δεκαεννέα

1.6K 432 66
                                    

:.。o○ Given Taken ○o。.:

Tok tok tok!

"Jay, hari ini kamu ada jadwal di tiga tempat yaa. Mama udah siapin bajunya buat kamu."

Sungguh, Jay sangat malas ketika sudah mendengar suara itu masuk ke telinganya. Ingin sekali ia membatalkan semua jadwal itu lalu berhenti bekerja dan beraktivitas sesuai anak seusianya, namun sayangnya Jay tidak bisa melakukan hal tersebut hanya dengan cara menulis tanda silang di kertas penawaran.

Nanti dia jadi rakjel dong wkwk.

"Ck, nyusahin."

Jay bergumam dengan nada pelan. Ia beranjak dari ranjangnya kemudian berjalan malas ke arah pintu. Ia membuka pintu kamar pribadinya lalu terpampang jelas sosok sang ibu yang tengah membawa kertas-kertas bertulisan jadwal Jay untuk hari ini. Ya, ibu tiri.

Wanita itu tampak tersenyum ketika melihat sang anak walaupun lelaki yang ada dihadapannya saat ini menatap tak suka dirinya. "Ini, kamu terima penawarannya seperti biasa." Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dan juga bolpoin pada Jay.

Tunggu, bukankah seharusnya Jay yang memilih tanda setuju atau tanda tidak setuju di kertas penawaran itu? Seharusnya Jay mengikuti kata hatinya saat menerima maupun menolak penawaran tersebut, namun masa depan Jay berada di tangan Papanya.

Sang Ayah-lah yang menetukan masa depan Jay. Tentu saja, semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Papanya Jay hanya menuntut, menuntut, dan menuntut. Tidak peduli jika anaknya itu sudah berusia lebih dari tujuh belas tahun. Mengapa Jay tidak bisa merasakan kebebasan disaat dirinya tengah berusaha menetukan masa depannya sendiri?

Jay pun paham. Kalaupun ia akan debut sebagai idol yang memiliki banyak penggemar, ia pasti akan memiliki jadwal lebih daripada penawaran yang Jay terima saat ini. Tapi saatnya bukan sekarang, tidak seharusnya ia bekerja lebih keras disaat Papanya hanya bersantai-santai dengan kekayaan yang ia dapat setiap harinya.

Kalau Jay boleh jujur, ia sangat tertekan. Namun Jay hanya bisa memendamnya agar tidak dipandang lemah oleh orang lain. Bagaimana bisa Jay yang tampan, pintar, kaya akan harta, vibes layaknya pangeran, tetapi lemah hanya karena 'tertekan' akibat tuntutan sang Ayah. Image Jay bisa turun seketika.

Jay mengabaikan perkataan ibu tirinya sekaligus mengabaikan lembaran-lembaran kertas tersebut tanpa berniat mengambilnya. Kemudian ia kembali melangkahkan kaki, Jay memakai sebuah jaket, topi, dan juga masker yang serba hitam. Entah untuk apa ia memakai semua itu.

Tak lama Jay kembali menatap tajam wanita yang kini terlihat sedang kebingungan. "Asal lo tau," Jay menarik paksa kertas-kertas itu, membuat sang empu sedikit terkejut karena ulah anaknya. Ekhm, anak tiri. "Gue muak sama kertas-kertas bedebah ini, gue muak liat lo dan Papa gue masih bisa tersenyum diatas semua tuntutan yang selalu bikin gue tertekan setiap hari, gue muak ngejalanin jadwal-jadwal yang seakan-akan membuat gue seperti atm pribadi di rumah ini, dan gue muak ngeliat muka lo yang selalu nunjukkin senyuman sok manis ke gue." Napas Jay memburu setelah sekian lama ia memendam segala kalimat itu di dalam batinnya.

Sudut bibirnya naik, Jay memberikan smirk saat melihat perut buncit wanita itu. "Apa lo bahagia dengan kekayaan yang Papa punya? Lo inget baik-baik ya, kekayaan ini lo dapet dari gue, gue yang nyari duit, bukan dari cowok yang lo sebut suami!" Jay mulai merobek kertas-kertas yang ada ditangannya hingga lembaran itu tak lagi berbentuk. "Sampai kapanpun lo gak akan gue anggep sebagai ibu. Kalau misalkan anak lo ini udah lahir," lelaki itu menunjuk ke arah perut sang ibu yang tengah mengandung anak. "Siap-siap aja lo sama anak lo bakal diusir dari rumah ini, dan bernasib sama seperti ibu kandung gue. Kenapa? Karena status lo disini cuman pemuas Papa gue, dasar jalang gak tau diri."

"Gak ada yang bisa ngegantiin posisi Mama. Dari sekian banyaknya pelacur yang Papa bawa kerumah dan beberapa hari kemudian hamil, semua anak yang dikandung pelacur-pelacur itu gak akan diterima sama Papa, termasuk lo." Kini, wanita itu mulai meneteskan air mata yang sudah ia tahan sejak tadi, hatinya sakit ketika dikatai oleh anak tirinya sendiri, padahal wanita itu sedang berusaha bersikap baik pada Jay.

"Lo nangis? Seharusnya gue yang nangis tolol, tapi karena gua laki-laki jadi ya gue nahan diri. Nanti gak keren dong kalau misalkan cowok seganteng gue nangis gara-gara ibu kandungnya meninggal gak sengaja dibunuh Papa pas lagi mabuk," Ia tersenyum miris bagaimana Jay tengah menyaksikan sang ibu mati di hadapannya. "Tau sendirikan orang mabuk emosinya kayak gimana. Kalau tingkat kemabukkannya tinggi, emosinya juga berubah drastis." Jay merasakan sesak di dadanya, walaupun Jay sudah memaksakan agar air mata itu keluar, tetap tidak bisa. Itu yang menyebabkan dadanya sakit saat ini.

"Beberapa hari setelah Mama dimakamkan, Papa sering pulang malem dengan keadaan mabuk. Semakin kesini semakin parah. Papa mulai bawa cewek yang berbeda ke rumah setiap harinya, gue stress, tapi gue gak bisa ngapa-ngapain." Satu fakta, Jay tidak peduli dengan tata cara bahasa saat berbicara pada ibu tirinya. "Waktu Papa bawa lo ke rumah, san ternyata lo hamil, disitu gue mulai disuruh buat ngelakuin jadwal-jadwal gak guna sebagai model di berbagai produk. Kedatangan lo bikin gue sengsara tau gak? Gue sebenernya pengen bunuh lo tapi gak jadi, nanti yang ada malah gue yang dibunuh sama Papa." Sekasar-kasarnya Jay pada wanita itu, tetapi Jay masih takut pada Papanya. Hm.

"Kalau Papa nanya gue ada dimana, bilang, gue pergi dari rumah dan gue gak akan balik lagi kesini." Jay kembali melangkahkan kaki setelah menyenggol kasar pundak ibu tirinya dengan sengaja. Sedangkan wanita itu masih saja berusaha menghentikan tangisnya sembari mengelus perutnya yang tengah mengandung anak.

Entah suaminya siapa. Namanya juga jalang, sekali dipake langsung ngilang. Anjay.

Ini adalah hari terakhir Jay menapaki kaki di bangunan mewah nan megah tersebut. Jay melihat rumahnya yang sudah direnovasi semenjak lima bulan lalu, meneliti secara detail rumah hasil jerih payahnya sendiri, kemudian ia simpan baik-baik di dalam benaknya. Menjadikan sebuah kenangan yang akan Jay ingat sampai kapanpun, dimana rumah itulah yang menjadi saksi bisu disaat ia hanya bisa mengompol di kasur sampai dirinya berusia delapan belas tahun. Terlalu banyak kenangan, entah itu kenangan baik maupun buruk. Semua hal yang berkesan akan selalu tersimpan di dalam memorinya.

Jay menghela napas. Mungkin tindakannya saat ini adalah pilihan terbaik yang pernah Jay lakukan. Melarikan diri dari rumah yang sudah ia anggap sebagai tempat penyiksaan batinnya. Jay akan memulai hidup baru dengan pengeluaran pas-pasan untuk tinggal di sebuah kost-kostan terpencil di dekat tempat latihan dance.

Kali ini, Jay berhenti bekerja sebagai model, Jay ingin hidup normal dengan menyampingkan tuntutan sang Ayah lalu hidup sederhana dari uang yang ia hasilkan dari sebuah kafe. Jay akan membeli beberapa kebutuh harian seperti makanan, dan beberapa baju karena ia pergi dari rumah hanya berbekal ponsel, dompet, dan barang-barang yang menurutnya penting.

Ya. Jay membeli kafe saat masih menjadi model, ia mengambil sebagian uang dari rekening Papanya secara diam-diam lalu menggunakan uang itu untuk membeli kafe. Agar disaat Jay sudah tak lagi bekerja sebagai model, dengan begitu ia bisa terus mendapatkan uang dari kafe tersebut. Cerdas bukan?

"Maaf, Pa. Tapi Jay udah gak tahan sama sikap Papa yang gila harta." Jay melangkahkan tungkainya menuju kost-kostan yang sudah lama ia ketahui semenjak mendaftar di tempat latihan dance.





















Tanpa Jay sadari, ada seorang lelaki yang tengah memandangnya di balik dinding bata sejak tadi. Ia membuka masker yang ia pakai kemudian keluar dari tempat persembunyiannya, lalu mengikuti arah kemana Jay pergi.

Lelaki itu adalah Niki.




***

halo? aku mau ngasih informasi
story ini bakal end dalam waktu dekat, semoga aku gak ada hambatan buat terus ngetik cerita ini sampai epilog yaa

jangan sider, yang sider bisulan di hidung

Given Taken || Enhypen [√]Where stories live. Discover now