Memori

461 21 0
                                    

" Kita tak bisa selalu mengabadikan momen indah saat bersama orang yang kita sayangi, tapi kita masih bisa merekam dan menyimpan momen indah itu di dalam memori otak kita menjadi kenangan yang tak terlupakan. "

❇Gracella Fawnia Baylor

|*|
|*|
|*|

Cella menutup pintu mobil dan membenahi rambutnya yang jadi berantakan karena diacak-acak oleh Darel. Darel mengintip dari samping dan tidak bisa tidak mengulum bibir geli. Ia berdehem menutupi kekehannya.

" Kamu kenapa? Tenggorokannya nggak enak? " Cella memegang lengannya cemas.

Darel tersenyum geli, menggeleng, " Nggak, cuma agak serak aja. Mungkin karena kopi yang tadi pagi aku minum kekentelen. "

Cella mengerutkan bibir ragu, " Bener cuma itu? " tanyanya menyelidik.

Darel mengangguk, menatapnya dengan alis terangkat, " Iya, percaya sama aku. Apa kamu berharap aku kenapa-napa? " ia bertanya balik dengan nada memggoda.

Cella memukul lengan Darel sebal, " Aku serius tau! Kamu malah main-main. Lagian siapa sih yang mau calon suaminya sakit pas detik-detik hari-H. " gerutunya dengan cemberut.

Darel terkekeh, mengacak rambut panjangnya lagi. " Iya sayang... Aku nggak main-main lagi, kok. "

" El! Rambut aku berantakan lagi tau!! " pekik Cella marah.

Darel tertawa, " Hahaha maaf, baby... Yaudah masuk, yuk, panas disini. " tangannya ia ulurkan di depan Cella.

Cella mencebik, " Yaudah, ayo masuk! " ia menyambar tangan Darel dan memimpim jalan ke dalam studio percetakan yang dilapisi dinding kaca tebal. " Alesan aja, mana ada pagi-pagi gini udah panas! " cibirnya dengan suara pelan.

Darel pura-pura tak mendengar gerutuan Cella, menahan kekehan yang nyaris menyembur lagi. Hahh... Ngegemesin banget sih kamu, Grace... Desahnya dalam hati.

Pintu kaca membuka-menutup otomatis begitu mereka masuk. Keduanya langsung menuju pria paruh baya yang duduk di meja pojok ruangan, sibuk dengan ponselnya.

Pria itu mengangkat kepalanya lalu tertawa, " Ah, kalian sudah tiba rupanya. Silahkan duduk, " dia menunjuk kedua kursi di seberangnya.

Cella tersenyum sopan, duduk di kursi yang ditarik Darel, " Terimakasih. " ucapnya pada pria paruh baya itu.

" Anda terlalu sopan. " pria itu terkekeh.

Cella hanya tersenyum, " Kita langsung saja, ya, Tuan Tama. " ia merogoh tas selempangnya mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi desain undangan dan daftar tamu. " Apabila mungkin saya harap undangan jadi dalam waktu dua hari. "

Tama menerima desain dan daftar nama, melihatnya lalu mengangguk, " Dua hari lagi Tuan Darel dan Nona Cella bisa kemari mengambil cetakan undangan. "

Cella mengangguk puas, " Kami akan datang dua hari lagi. " ia berdiri, tersenyum undur diri pada Tama kemudian pergi bersama Darel.

" Sekarang mau kemana? " Darel bertanya sembari memasangkan sabuk pengaman untuk Cella.

Cella menatapnya dengan wajah bingung, " Pulang, kan? Emang mau kemana lagi? Lagian kita kan harus banyak istirahat biar pas hari-H nggak lemes. "

Darel berdecak, memasang sabuknya, " Ya kemana gitu, Grace. Kita kan juga udah lama nggak ketemu, masa kamu sama sekali nggak ada keinginan gitu buat jalan sama aku. " ia melirik Cella dari samping, menyalakan mesin.

Cella menggaruk pipinya yang tidak gatal, " Umm... Aku bukan nggak mau, tapi kalo sekarang kan kita dikejar waktu. Kamu juga harus sibuk nyelesein pekerjaan di perusahaan biar nanti bisa ngelaksanain nikah dan bulan madu dengan tenang. Emang kamu mau apa pas kita lagi bulan madu tiba-tiba asisten kamu telpon soal pekerjaan? Nggak kan. Jadi pulang aja, deh, El. " oceh wanita itu memberitahu sebab-akibat pada Darel.

My Daisy ✔Where stories live. Discover now