-15-

162 18 4
                                    

"Nak, itu ada tamu di depan cariin kamu," ucap bundanya saat Renjana baru saja bangun tidur siang. Tidak biasanya ada tamu mencari dirinya. Ia juga tidak merasa punya janji dengan siapapun hari ini.

Setelah ia mencuci muka dan merapikan penampilannya, ia berjalan menuju ruang tamu seperti apa yang dikatakan bundanya. Ada seorang lelaki setengah baya sedang duduk disana. Lelaki yang pernah ia cintai setengah mati lalu membuat rasa itu berubah jadi benci hingga ia tak lagi mengingat dan melihat lelaki ini untuk selamanya. Setelah lama hidupnya kembali tenang. Setelah bundanya dan dirinya berhasil melepaskan diri dari masa-masa sulit itu, mengapa lelaki ini kembali menampakkan diri. Apakah dia tak punya malu menunjukkan rupanya di rumah ini. Di rumah yang pernah mereka bangun bersama bersama jutaan cerita indah di dalamnya. Lalu dengan tega ia memadamkan api kebahagiaan itu dan menggantikannya dengan kobaran api kesusahan dan dengan tidak punya hati, ia justru segera bergegas pergi memilih tempat baru.

Hampir saja Renjana berbalik kembali masuk. Ia tak ingin melihat rupa lelaki itu. Ia tak ingin kembali membuka luka lama di hatinya. Namun langkahnya terhenti saat lelaki itu bersuara memanggil namanya.

"Jana kesini dulu sayang. Ayah mau bicara," ucapan sayang yang paling ia tak ingin dengar keluar dari mulut lelaki pengkhianat itu. Mendengarnya saja rasanya perih. Kenangan-kenangan indah dan manis saat dulu ayahnya selalu memanggilnya demikian saat mengecup keningnya, saat mengajaknya bermain. Lalu tiba-tiba saja dengan sesuka hati dan mementingkan hatinya saja, ayahnya justru pergi setelah sebelumnya dengan lantang berkata bahwa selama ini seluruhnya pura-pura.

"Jangan pernah memanggil saya dengan panggilan demikian. Anda tak pantas mengucapkannya setelah seluruh yang anda perbuat," jawab Renjana ketus. Renjana marah. Renjana benci. Renjana benci seluruh rasa yang tiba-tiba menghampirinya. Dengan susah payah ia menahan air matanya agar tidak keluar. Ia tak akan terlihat lemah di hadapan manusia jahanam ini.

"Maafkan ayah sayang. Sini Jan duduk sebentar, dengarkan sebentar saja kata-kata ayah," ucap ayahnya memohon.

Renjana sudah tidak kuat lagi mendengar apapun yang keluar dari mulut Ayahnya. Setiap kata-katanya terasa menyakitkan. Ia ingin langsung berlari menuju kamarnya saja. Namun ibunya seakan menyuruhnya untuk sebentar saja mendengarkan apa yang ingin ayahnya katakan. Demi ibunya akhirnya ia duduk berhadapan dengan Ayahnya dengan terus diam tak berniat sekedar menyapa manusia yang sudah lama tak ia temui.

"Apa kabar Jana? Semakin cantik saja anak ayah," ucap Ayahnya. Pertanyaan yang tak ada gunanya untuk Renjana setelah selama ini tak pernah lagi menghubungi Renjana maupun Bundanya. Ayahnya bahkan sudah tidak lagi peduli dengan keadaan mereka. Dan dengan tak tahu diri tiba-tiba bertanya kabar saat semua sudah baik-baik saja.

"Jana, sebentar lagi Jana sudah jadi siswa kelas 12 kan sayang. Jana pasti ingin kuliah di Universitas Negri terbaik. Gimana kalau Jana ikut ayah saja. Biar seluruh keperluan Jana bisa ayah penuhi. Dari rumah ayah juga Jana bisa lebih mudah untuk berangkat ke kampus. Bunda pasti tidak akan mampu menyekolahkan Jana sampai lulus sarjana. Jana ikut ayah saja ya sayang."

Jana kira setelah semuanya berlalu ayahnya sedikit berubah. Dengan kebahagiaan yang kini ia pilih, Jana pikir ayahnya sudah tak lagi gila. Tapi ternyata ayahnya masih sama berengseknya dengan yang terakhir kali Renjana temui.

"Renjana tidak pernah butuh bantuan dari anda. Dan satu hal, jangan pernah anda menghina bunda. Kalau itu yang ingin anda katakan setelah jauh-jauh kesini. Lebih baik sekarang anda angkat kaki dari sini dan jangan pernah lagi menunjukkan wajah di rumah ini kalau anda masih menganggap bunda sebagai manusia tak berguna. Bunda pasti bisa menyekolahkan Renjana hingga sarjana. Renjana yang akan bantu bunda. Kami akan berusaha sekuat yang kami mampu di atas kaki kami sendiri untuk seluruh mimpi dan bahagia yang ingin kami capai. Kami tak membutuhkan uluran tangan seseorang yang hanya bisa merendahkan orang lain seperti anda."

TEMARAM (COMPLETED)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt