24

2.7K 765 147
                                    

"Itu nggak mungkin terjadi, Kak."

Kata-kata Doyoung terus terngiang-ngiang dikepala Junkyu. Ia merutuki dirinya sendiri bahkan Doyoung, Junkyu sudah tidak mau kehilangan seseorang yang berharga baginya lagi. Jihoon maupun Yoshi.

Junkyu baru saja dari rumah Yoshi, sesuai alamat yang diberikan Doyoung. Namun, laki-laki itu justru hanya menemukan wanita paruh baya dengan wajah dinginnya mengusir Junkyu. Jadi, Junkyu menyimpulkan bahwa Yoshi dan Jihoon sudah pergi dari sana, entah ada masalah apa.

Junkyu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri setelah mendapat balasan dari Jihoon. Ia dapat melihat papan tanda bertuliskan 100m to the railroad tracks.

Junkyu segera menaiki motor Doyoung dan langsung mengendarainya. Serius, dibalik helm hitam yang dikenakan Junkyu, terdapat wajah khawatir Junkyu. Hatinya udah dugun-dugun, mengingat kembali perkataan Doyoung.

"Itu apa sih anjir." Junkyu menyipitkan matanya begitu melihat kereta api berjalan dengan sangat cepat, seakan-akan remnya blonk. Tapi tak lama Junkyu membulatkan matanya begitu melihat mobil Jihoon.

"Itu—"





























"Woi, anjir ini kok mobilnya nggak mau gerak." Jihoon berusaha menginjak gas mobil namun tetap saja tak ada hasil.

"Ji-Ji... I-itu ada kereta anjir!" Yoshi panik, ia dapat melihat kereta api dari jauh.

"I-ini, kenapa deh?!" bingung Jihoon sekaligus panik, sumpah Jihoon jadi kepikiran ucapan Junkyu.

"J-Jihoon, woi cepet jalan!"

"INI JUGA KENAPA PALANG NYA NGGAK DITUTUP MALAH LAMPUNYA IJO?!"

Yoshi kehabisan akal, ia lalu dengan buru-buru membuka pintu mobil dan langsung berlari meninggalkan Jihoon yang seal belt nya macet. Sementara kereta apinya sudah semakin dekat.

"Yoshi, Yoshi, bantuin gue." Jihoon menatap Yoshi dengan tatapan nanarnya. Serius, Jihoon belum siap untuk mati, ia masih ingin hidup. Masih banyak hal yang hendak ia tebus. Sedangkan Yoshi sendiri melihat dan mendengar Jihoon yang meminta tolong membuatnya teringat akan kejadian sang Ayah. Tiba-tiba saja traumanya bangkit.

"Yoshi... Yoshi... Ayah bakalan tenggelam. Tolong Ayah!"

"Yoshi, please, masih ada waktu." Mata Jihoon mulai berair, ia masih berusaha melepaskan seal belt miliknya.

"Yoshi, Yoshi, tolong Ayah!"

"YOSHI, TOLONGIN GUE!"

"YOSHI, AYAH BAKALAN MATI!"

"YOSHI!"

"YOSHI!"

"DIAM, ARGHH!!!" Yoshi justru berteriak sembari menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Tubuhnya bergetar hebat, rambut Yoshi berantakan, dan wajahnya sudah memerah. Ia seperti bukan Yoshi yang sama, Yoshi memejamkan matanya rapat-rapat, menghalau segala kenangan buruknya. Setiap malam, Yoshi berdoa pada Tuhan, ia rela tak ingat apapun tentang memorinya, asal Tuhan mencabut kenangan kematian Ayahnya dari Yoshi.

"Yoshi..." Lirihan Jihoon membuat Yoshi membuka matanya, ia melihat Jihoon tersenyum cerah padanya, secerah matahari, seperti pertama kali seorang Park Jihoon menyapanya di kantin sekolah menengah atas. Ia masih Jihoon yang sama, tapi kenapa Yoshi merasa bahwa senyuman Jihoon tidak memiliki arti yang sama?

Jantung Yoshi berdetak cepat saat melihat senyum Jihoon. Yoshi melihat kereta api yang semakin dekat, tak lupa suara bel kereta api yang menyuruhnya untuk menyingkir dengan cepat.

Crafty | Treasure ✔Where stories live. Discover now