Bab 23 (Kismi dan Nestapanya)

5.6K 496 18
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, semoga banyak yang suka hehe.


Kenalin, ini lapak santuy. Banyak yang baca ya gapapa Alhamdhulillah.

Sedikit yang baca ya jalanin terus aja, gapapa.

 

***

Kamu boleh saja menolak keberadaan seseorang,

Tapi tidak bisa merubah takdirnya.

Karena sekeras apapun kamu menolak,

Yang seharusnya pergi akan tetap pergi, yang seharusnya datang juga akan tetap datang.

Sebagaimana ajal dan jodoh manusia.

(Kismi Alisya Humairoh)

Namaku Kismi Alisya Humairoh, Orang-orang banyak memanggilku Kismi. Usiaku belum genap 18 Tahun. Saat ini masih bergelut di dunia sekolah, belum banyak mengenal hingar bingar dunia luar. Kegiatanku diluar sekolah adalah mengikuti pengajian kitab kuning di sebuah pesantren kecil yang letaknya tidak jauh dari rumahku hampir setiap pagi ba'da Shubuh, kemudian ikut membantu mengajar ngaji Al-quran anak-anak kecil TPQ setiap sore hari Sabtu dan Minggu.

Aku bersyukur, teramat sangat bersyukur bisa tumbuh dan besar di keluarga yang penuh kasih sayang ini. Mereka mencukupi semua kebutuhanku, tak hanya perihal materi dan keduniawian saja, bahkan dengan nilai bathin dan akhirat juga. Bunda yang sangat penyayang, Ayah yang tegas dan penyabar, Kak Elsa yang perhatian, Juga Ziyad yang sedikit menyebalkan tapi baik juga dan bisa diandalkan hehe.

Hal-hal yang paling aku suka di dunia ini adalah menulis apapun yang terjadi padaku dan perasaanku, menuangkan apa yang kualami di atas kertas-kertas putih bersampul Biru buku deary kesayanganku. Terdengar sedikit alay dan kekanak-kanakan sih, tapi ya mau gimana lagi, meskipun aku terkenal cukup cerewet dan banyak bicara, ada beberapa hal yang tidak bisa ke ungkapkan pada orang lain. Cuku menjadi rahasia antara aku dan Tuhanku.

Selain itu, ada kebiasaan sedari kecil yang kusukai hingga kini, yaitu menghitung bintang-bintang dilangit. Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa hobiku itu unfaedah dan buang-buang waktu saja. Tapi ya mau gimana lagi, akunya terlanjur nyaman dan candu sih. Ceritanya, semua berawal dari waktu aku belajar menghitung dulu, apa-apa yang berjumlah banyak pasti kuhitung. Tak hanya bintang-bintang di langit, terkadang kuhitung jumlah daun jambu di depan rumah, batu kerikil di taman belakang, bahkan rumah-rumah berjajar di sepanjang jalan saat bepergian. Semuanya reflek dan terjadi begitu saja di luar kesadaranku.

Cita-cita? Tentu aku punya. Sedari kecil aku bermimpi mendirikan madrasah gratis untuk kaum tidak mampu, syukur-syukur bisa mempunyai pesantren juga. Selepas Aliyah, aku ingin melanjutkan kuliah di Al-Azhar Kairo, memperdalam ilmu Alquran dan Tafsir, yang sekali-kali diselingi refreshing ke Kota Alexandria dan menikmati semilir angin sejuk di sepanjang aliran sungai Nil. Masya Allah, pasti seru sekali.

Perihal jodoh, aku tidak terlalu signifikan memilih dan menentukan seperti apa jodohku itu. Mungkin cukup sholeh, pengertian, mengayomi, dan saling mencintai. Tidak perlu kaya, asal cukup memenuhi apa yang dibutuh. Tidak perlu ganteng, asal menyejukkan saat mata kami saling beradu. Saling mengingatkan untuk menuju kebaikan, kurasa itu saja udah cukup hehe.

Tentang Fahri, tak bisa kupungkiri bahwa aku memang telah mengaguminya sejak lama. Perangai dan sifatnya itu sudah masuk daftar suami idamanku huhu. Tapi ya gitu, Mulai sekarang tak ada lagi harapan sehidup, seatap, dan sesurga dengannya. Harapan itu kandas dan hancur laksana segenggam debu yang dihamburkan di dasar lautan, tak berbekas.

Statusku, Jomblo Fi sabilillah, Insya Allah. Tapi, kini tak lagi begitu.

"Ehem, Bismillah. Jadi begini Nak, sebenarnya yang dinikahi Gibran putra saya bukan Elsa, tapi kamu!"

Pengakuan tegas nan penuh wibawa Abah Hasan kala itu berhasil meluluh lantakkan duniaku, menerbangkan angan dan cita-citaku, memupuskan harapan-harapanku. Hingga kini, aku masih merasa bahwa yang menempati ragaku tak lagi jiwaku.

"Nak, kamu bisa ikhlas menerima pernikahan ini, kan?" Belaian lembut Ummi Aminah di ubun-ubunku membuyarkan lamunan.

Aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Mau menjawab jujur takut melukai hatinya, mau bilang aku telah ikhlas takut dosa, sebab telah membohonginya.

Setetes dua tetes bulir air mataku jatuh melewati pipi. Entah mengapa akhir-akhir ini air mataku menjadi murah harganya, begitu mudah tumpah. Tak seperti biasanya yang pantangn menangis di hadapan siapapun. Tentang masalah apapun.

"Ummi sekeluarga mohon maaf ya Nak, karena pernikahan ini mungkin telah merenggut masa mudamu," Aku menggeleng pelan, masih enggan bersuara. Sejak beberapa hari terakhir setelah kenyataan itu terungkap, aku memang tidak berucap sepatah katapun kepada siapa saja, bahkan pada Ziyad pun aku enggan angkat bicara. Kecuali jika di sekolah.

"Ummi jadi tidak tenang saat Bundamu mengabari kami kalau kamu mengurung diri seperti ini, bicaralah Nak, Karena sepatah dua patah kalimat yang kamu lontarkan bisa menenangkan kita semua." Sentuhan lembut Ummi Aminah sedikit bisa menenangkan gejolak hatiku. Ketulusan dan kesabarannya membuatku merasa berdosa jika terus menerus mendiaminya tanpa mengajak bicara.

"Ummi," Ummi Aminah tersentak melihat mulutku yang mulai terbuka.

"Iya, Nak? Ada yang ingin Kismi sampaikan pada Ummi?" ucapnya sumringah.

"Kismi belum sholat Isya. Kismi sholat dulu ya," Ummi Aminah mengangguk.

"SilahkanNak, Ummi tungguin Kismi disini ya?" Aku mengangguk, membiarkan beliaumemperhatikan setiap gerak-gerik yang kulakukan.

Beberapa saat kemudian.

"Manusia memang tidak mengetahui apa yang akan lebih dahulu menemuinya. Entah Ajal dulu atau jodoh. Kehidupan kita, rejeki kita, sudah ada yang mengatur, kita sebagai manusia cukup berpasrah, bertaqwa, dan melakukan semuanya dengan sebaik-baiknya. Kismi pernah mendengar ungkapan itu?" tanya Ummi Aminah saat aku kembali duduk di sampingnya, di shofa kamarku.

"Pernah Ummi. Sebaik-baiknya rencana manusia hanya Allah lah yang berhak menentukan akhirnya akan seperti apa, begitu kan Mi?" kataku kemudian.

"Bettul sekali Nak, Semua apa yang terjadi pada Ummi, juga pada Kismi sudah merupakan ketentuan mutlak Sang Maha Pencipta. Kita memang harus berusaha menerima meski teramat berat." Aku terdiam, suara lembut Ummi Aminah perlahan seperti udara segar yang menyeruak dan menyejukkan dadaku yang sesak.

"Kismi jangan pernah merasa pernikahan ini membelenggu masa depanmu. Masa remajamu boleh saja tak lagi sama dengan remaja lainnya yang seusia Kismi, tapi perihal masa depan kamu tetap berhak memimpikan apapun, Nak!" Aku tersentuh, Mataku kembali berkaca-kaca. Betapa berdosanya aku yang sempat berprasangka buruk terhadap takdir yang kualami ini. Astaghfirullah, ampuni aku Ya Rab.

"Ummi, Ummi Aminah bersedia Kan, membantu dan membimbing Kismi menjadi anak yang lebih baik. Baik di keluarga Kismi sendiri ataupun di keluarga Ummi?" tanyaku. Menafikan penyebutan diriku sebagai menantunya, aneh kurasa.

Ummi Aminah mengangguk seraya tersenyum.

"Tentu Nak, tanpa Kismi minta Ummi akan melakukan hal yang demikian!"

"Makasih Ummi, dan maafkan Kismi!" lirihku sebelum Ummi Aminah merengkuh tubuhku erat.


***

Hai kalian, para readersku yang jumlahnya memang nggak banyak sih.

Entah kenapa aku bisa sesayang ini pada kalian wkwkw.


Jangan lupa bahagia, dan tetap selalu bersyukur hehe.

Mau dikasih Vote dan koment ya gapapa, nggak dikasih juga gapapa. Santuy aja!


Kisah kasih Kismi (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now