Bab 53 (Mengeja Rasa)

3.4K 383 49
                                    

Bismillah,

Assalamu'alaikum rek, Jum'at Mubarokah.

Pada postingan part sebelumnya, terimakasih ya untuk koment-koment positifnya.

Mood Boster banget tau!

Kali ini lek kalian semakin semangat koment dan vote.

Jiwa raga iki juga tambah semangat loh,

Yang awalnya males dan ngaret, jadi nggak!

Selamat membaca,

***

"Oh jadi Mbak Kismi ini istrimu to Bran?" tanya Bu Nyai Shobibah tatkala Kismi dan Kapten Gibran tengah sowan ke ndalem Pondok Pesantren Nurul Muttaqin keesokan harinya.

"Nggeh Bunyai, Pangestunipun," Kapten Gibran menjawab dengan penuh ta'dzim. Sedangkan Kismi hanya diam menunduk seribu bahasa.

Kyai Mannan dan Bu Nyai Shobibah saling bertukar pandang. "Loh, gimana ini kisah pernikahan kalian? Saya kok penasaran ya Bran?" tanya Kyai Mannan.

"Pernikahan ini terjadi karena perjodohan, Yai. Pada awalnya yang dijodohkan dengan saya adalah saudara perempuannya. Namun, saat mendekati hari pernikahan, dia menghilang. Keluarga kami memutuskan untuk menggantinya dengan Kismi." jelas Kapten Gibran dengan penuh rasa hormat.

"Loalah begitu ya, ancen yang namanya takdir dan jodoh tidak ada yang tau selain Gusti Allah. Yang harus kita lakukan sebagai makhluk hanya ikhlas dan berpasrah. Ingat, tak ada takdir yang tak indah Bran, Kis. Jika awalnya memang berat, In Sya Allah akan baik di akhirnya." Komentar Yai Mannan.

"Nah lah iyo, beruntungnya, Kismi ini larene apik'an. Yo pasti ikhlas to yo? Pripun Kis?" gurau Bunyai Shobibah seraya menyentuh pundak Kismi.

"Pandungane mawon Bunyai,"
(Mohon doanya Bunyai)

"Kalau sudah menikah, surganya perempuan itu beralih pada suaminya. Jika istri manut, ikhlas, ridho, lan apik'an ten suami, surga jan gampang di gapai Kis! Begitu juga dengan sebaliknya, lek mbangkang neroko ya tambah dekat." Bunyai Shobibah menasehati dengan lembut.

"Nggih Bunyai, Pandungane mawon."

"Lah, pada suami juga begitu. Ibadah istrinya, akhiratnya, dunianya, merupakan kewajiban suami. Dalam bahtera rumah tangga, suami berperan sebagai nahkoda pembawa kapal yang mana, penumpangnya terdiri dari anak-istrinya. Lek wes ngono, keselamatan penumpange pasti dadi kewajibane nahkodae toh? Nahkodanya mampu apa tidak membawa kapal mereka menuju dermaga kebahagian yang haqiqi atau kesengsaraan. Dan itu tugas berat Bran!" timpal Kyai Mannan. Kapten Gibran meresponnya dengan anggukan kepala khas santri.

"Belum manunggal yo?" tanya Bunyai Shobibah yang langsung mendapat jawilan dari Kyai Mannan. Sedangkan Kapten Gibran dan Kismi hanya terdiam mesem, bingung mau merespon bagaimana. Bunyai Shobibah memang terkenal cukup ma'rifat. (Manunggal bisa bermakna berkumpul/berhubungan suami-istri hehe)

"Loalah, eman-eman tenan. Iku amalan yang jan guedde pahalane. Ojog ditunda suwe-suwe. Lagipula, selama masih muda dan kuat, gaweo anak seng akeh. Urusan diparingi nopo boten, niku kersane Allah. Penting kita lak berusaha a? Lek wes tuwek kyok aku yo angel, kasep soale hehe." Dawuh Bunyai Shobibah yang langsung diiringi gelak tawa Kyai Mannan.

(Itu amalan rumah tangga yang besar pahalanya, janngan ditunda lama-lama. Lagipula, selama masih muda dan kuat, buatlah anak yang banyak. Perihal dikasih atau tidak, itu mutlak kehendak Allah. Yng penting kita sudah berusaha 'kan? Kalau sudah tua kayak aku menjadi susah, karena sudah terlambat.)

Kisah kasih Kismi (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now