⚔️Chapter 5 : Si Pendeta

44 15 3
                                    

Lorong kuil, pada saat bukan hari berdoa, terpantau sepi dari lalu-lalang Manusia. Seorang lelaki berdiri bersandar di tembok lorong menuggu seseorang. Sesekali dia celingak-celinguk memastikan orang yang dia tunggu sudah datang atau belum. Dia tersenyum, seorang wanita berpakaian pendeta kuil, mulai mendekatinya.

"Hi" wanita itu menegur laki-laki itu

"Akhirnya anda datang juga" dia menghembuskan nafas lega.

"Apa aku sudah sangat terlambat, sampai kau menghembuskan nafas dengan ekspresi seperti itu"

"Tidak juga, lagipula, saya pasti akan menunggu anda, meski harus menunggu 1000 tahun lamanya"

"Hei hei, bisa tidak kau tinggalkan formalitas ini,  rasanya telinga ku akan pecah mendegar ocehan formal mu"

"Maaf, aku hanya membiasakan diri"

"Sudah basa-basinya? Laporkan semuanya!"

Lelaki itu kini berlutut lalu meyerahkan sebuah laporan yang di tulis di atas lembaran yang terbuat dari kulit hewan. Perempuan berpakaian pendeta kuil itu menerimanya. Dia membuka semua tulisan yang ada di ats kulit hewan itu.

"Kau pasti kesulitan, adik tersayang ku itu, memiliki mata yang awas kan" tanya perempuan itu, menyelidiki.

"Benar, aku bahkan tidak habis pikir. Kukira beliau hanya calon kaisar bodoh berikutnya haha"

"Hus, lancang sekali mulutmu itu, meski dia adalah adik ku, aku tidak lebih tinggi pangkatnya dari pada dia tahu, maka dari itu, jaga omongan mu!"

"Aghh, kau selalu saja begitu, padahal aku tidak sudi menjadi rakyat dari orang seperti dia, dia bahkan tidak pantas menerima mahkota Puteri mahkota."

"Hmm kau tetap saja angkuh, padahal kau tidak lebih dari budak bodoh milik ku". Wanita itu mengejek lelaki yang ada berlutut di depannya. Tapi yang di ejek malah tersipu malu. Selama ini, tak ada yang tau alasan mengapa lelaki berbakat itu mencintai orang dingin seperti pendeta wanita itu.

"Ngomong ngomong, bagaiman kondisi mu hari ini!" Si laki laki mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku tentunya baik-baik saja, aku orang kuil, hidupku terjamin, yang harusnya kau khawatirkan adalah hidup mu sendiri, yang belum tentu bisa makan setiap hari kan."

"Kau selalu saja meremehkan ku, aku adalah manusia super, aku bisa menahan lapar meski harus berpuasa selama 1000 tahun"

"Ya ya ya" wanita itu melanjutkan membaca tulisan-tulisan di atas kulit hewan itu.

"Hey, siapa di sana!" Seorang dari kejauhan menyeru, suara seorang laki-laki. Lelaki yang berlutut itu pun segera melompat, sembari mengeluarkan dua pisau dari bagian belikatnya, sekejap dia memanjat melompat dinding dan bergelantungan di atap lorong. Si wanita ikut waspada, segera memasukan lebaran itu ke dalam jubahnya.

Langkah kaki semakin dekat, tak disangka, yang mendekat segera sadar siapa gerangan orang yang tadi dia teriaki. Ekspresinya tersirat ''rasa malu'' yang dalam. Dia bahkan terdiam sejenak,  dia malu atas perbuatannya, menyadari hal itu, dia langsung melangsungkan hormat pada wanita didepannya.

"Salam..., Oh ternyata anda, saya kira penglihatan saya sudah sangat rabun, jadi mohon ampuni saya yang sudah tua ini!" Sergah seorang  lelaki tua , berkilah.

"Tentu aku akan memaafkan mu bukan, itulah yang di ajarkan langit kepada manusia" jawabnya tersenyum.

"Terpujilah Pendeta Agung, kalau begitu hamba undur diri" lelaki tua itu pergi, menigalkan wanita itu, tertunduk malu karna telah meneriaki sang pendeta angung kuil. Meski secara umur dia jauh lebih tua dan lebih lama berada di kuil, laki-laki tua itu tetap menunduk kepada wanita yang terpilih sebagai pendeta agung. Itulah pengabdiannya kepada agama dan langit.

Empress of AtapciaWhere stories live. Discover now