1 - Nama Perempuan Lain

3.9K 167 20
                                    

Assalamualaikum ....

Terima kasih karena sudah memilih cerita ini di antara sekian banyak pilihan.

Selamat membaca.

( ˘ ³˘)♥

"Amel?" Dengan alis bertaut, Umma mengulang nama perempuan lain yang baru saja diucapkan suaminya.

Lelaki bercambang tipis di depannya pun mengangguk samar.

Pembenaran itu seketika membuat tenggorokan Umma kemarau. Dia lantas menggeleng bingung dengan mata mulai memanas.

"Siapa Amel, Mas?"

Adam, lelaki yang pukul sepuluh pagi tadi telah mengucapkan janji setia sehidup semati, serta akan menjaga Umma jiwa dan raga di depan para saksi pernikahan mereka, sekarang malah tertunduk.

Hal itu tentu saja membuat Umma semakin bingung. "Siapa Amel, Mas?" Dia mengulang pertanyaannya sambil menyentuh pundak suaminya.

Perlahan, Adam menegakkan kepala dan menatap ke dalam manik mata sang istri yang mulai berkaca-kaca. Dalam bias remang cahaya kamar pengantin mereka, dia bisa melihat kekhawatiran di wajah cantik itu.

"Dia putri bosku." Adam tercekat.

"Lalu?" buru Umma, seolah tak menginginkan jeda di ucapan suaminya.

"Aku akan menikahinya juga."

"Apa?" Pengakuan itu serupa badai tornado yang seketika meluluhlantakkan suasana bahagia yang bertahta di hati Umma sejak lelaki yang sudah lama dicintainya ini resmi menjadi suaminya pagi tadi. " Mas ngomong apa, sih?"

Adam lekas meraih kedua tangan Umma dan menangkupnya dengan hangat. "Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini, tapi aku juga merasa tidak pantas menyentuhmu di saat aku sedang menyembunyikan sesuatu."

Umma menggeleng samar. "Mas cuma mau ngerjain aku, kan?" Umma masih berusaha untuk tidak percaya. Bagaimana mungkin lelaki yang dikenalnya sejak kecil ini, dibesarkan di keluarga baik-baik, dan berpendidikan tinggi, tiba-tiba mengatakan pengakuan sengawur itu?

Sebelum hari ini, Adam dan Umma memang sebatas sahabat yang rutin bertukar kabar. Mereka tidak terikat dalam hubungan pacaran karena Umma memang tidak menginginkannya. Dia selalu bilang ke Adam, bahwa jika memang jodoh kita pasti akan dipersatukan. Tugas kita hanya memantaskan diri.

Adam pun bisa menerima prinsip Umma, tanpa mempermasalahkan sedikit pun. Toh, tanpa harus diucapkan, mereka sudah tahu isi hati masing-masing.

Setelah lulus kuliah, Adam merantau ke Jakarta untuk mengaduh nasib. Dengan gelar Sarjana Manajemen yang berhasil diraihnya, memang sangat memungkinkan mendapatkan pekerjaan yang cukup layak di Makassar. Namun, sejak masih SMA Adam memang bercita-cita ingin merantau.

Setelah mejalani hidup masing-masing di pulau yang berbeda, komunikasi Umma dan Adam tetap lancar, tapi sebisa mungkin dikondisikan agar tidak mengganggu kegiatan satu sama lain. Dalam hubungan yang masih dinamai persahabatan itu, mereka memang mengupayakan agar segala sesuatunya berjalan sewajarnya. Tidak perlu ada yang dilebih-lebihkan.

Namun, bukan berarti obrolan mereka tidak pernah mengarah ke persoalan hati dan asmara. Adam selalu mengingatkan, bahwa di Jakarta dia sedang berjuang, dia meminta agar Umma sabar menunggunya.

Meski tidak pernah benar-benar mengiyakan, nyatanya Umma benar-benar menunggu lelaki itu, hingga bulan lalu dia datang bersama kedua orangtuanya untuk melamar. Dan pukul sepuluh tadi, adalah saat-saat terindah di hidup Umma, ketika lelaki berpostur tinggi ini mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan disahkan oleh para saksi.

Umma yang saat itu berada di dalam kamar mendengarnya lewat pengeras suara. Air matanya langsung meleleh dan hatinya berucap syukur tiada henti. Rasanya sungguh ajaib. Meski tidak pernah ada kata pacaran di antara mereka, Adam benar-benar menepati janjinya.

Namun, di malam pertama mereka ini, ketika seharusnya biduk cinta yang sesungguhnya dilayarkan di tengah bait-bait ibadah terindah, Adam malam mengutarakan pengakuan yang tidak masuk akal.

"Aku tahu ini akan terdengar sangat gila dan tidak masuk akal." Ibu jari adam mengelus punggung tangan Umma, berusaha menenangkannya. "Tapi percayalah, ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

Umma menarik tangannya dari genggaman sang suami. Dia menggeser posisi duduknya hingga kini agak membelakangi lelaki itu. Air matanya akhirnya tergelincir juga. Hati perempuan mana yang tidak hancur saat ditempatkan di posisinya saat ini? Pernikahan yang belum cukup sehari ini tiba-tiba berhiaskan tanda tanya besar.

"Dari mana Mas tahu apa yang aku pikirkan?" Nada suara Umma mulai bercampur isak. Dia mengedarkan pandangan, menatap gamang hiasan kamar pengantinnya yang tak lagi tampak menarik. Payet bunga-bunga kain di atas kepala tempat tidur kini tampak suram di matanya. Indra penciumannya tidak lagi menangkap semerbak kelopak mawar yang bertaburan di atas seprai putih.

Awalnya, semua ini memang sempurna. Umma mengutarakan keinginannya kepada tim dekorasi dengan sangat rinci, sehingga kamar pengantinnya ini bisa terwujud sesuai keinginan. Namun, apa arti semua ini jika di dalamnya tak ada lagi kehangatan? Biduknya karam sebelum berlayar.

"Maaf, aku justru melukaimu di malam pertama kita. Aku hanya tidak ingin kamu tahu semuanya sebelum aku memberimu nafkah batin."

"Untuk apa Mas menikahiku kalau nyatanya di hati Mas sudah ada perempuan lain?" Umma kian tergugu. Dia menekan dadanya yang mendadak nyeri.

"Tidak ada perempuan lain, hanya kamu yang ada di hatiku." Kalimat itu masih terdengar tulus seperti biasanya. Namun, tentu saja Umma sudah sulit untuk memercayainya.

"Aku tidak menyangka Mas masih bisa mengatakan kalimat itu dengan lugas. Aku yang malu mendengarnya, Mas."

Pelan, Adam memutar bahu Umma hingga dia bisa melihat seutuhnya wajah sang istri yang tampak sangat kecewa itu.

"Tolong lihat aku," pinta Adam sambil mengangkat dagu Umma.

Meski berat, akhirnya Umma melabuhkan tatapannya di manik kelam Adam. Dia berusaha membaca, tapi sama sekali tidak ada petunjuk di dalam sana. Lebih tepatnya, otaknya terlalu dangkal untuk mencerna semua ini.

"Perasaanku padamu tidak pernah berubah sedikit pun. Posisi Amel tidak akan seperti yang kamu kira."

Umma memilih diam. Karena, semakin Adam berusaha menjelaskan, dia malah semakin bingung.

"Antara kami ada kesepakatan yang akan menguntungkan satu sama lain. Daripada pernikahan, kami lebih senang menyebut ikatan kami nantinya sebagai kerjasama bisnis."

"Maksudnya?" Umma mengernyit.

"Amel anak tunggal, dia akan mewarisi perusahaan orangtuanya. Tapi, dia sama sekali tidak tertarik untuk terjun ke dunia perhotelan. Dia lebih memilih untuk mengejar kariernya sebagai model."

Sambil terisak samar, Umma menyimak dengan seksama. Sampai di sini dia belum bisa menyimpulkan apa-apa. Satu-satunya kenyataan yang berdentang di benaknya saat ini adalah, lelaki yang selama ini selalu dia sebut namanya dalam doa ternyata diam-diam punya perempuan lain.

"Orangtuanya tidak merestui cita-citanya itu, kecuali kalau dia mau segera menikah. Menurut orangtuanya, profesi model sangat rentan dengan omongan miring. Setidaknya kalau sudah menikah, anggapan semacam itu bisa berkurang, karena sudah punya imam yang akan senantiasa membimbing dan mengingatkan."

"Jadi, Mas yang akan menjadi imamnya?" tanya Umma ragu-ragu, meski dia sendiri sudah bisa menebak jawaban atas pertanyaannya itu.

Adam geming beberapa jenak, sebelum akhirnya mengangguk.

"Kenapa Mas mau begitu saja?" Nada tidak terima Umma terdengar retak. Air matanya kembali bergulir.

***

[Bersambung]

Gimana bab satunya?
Semoga suka dan betah sampai akhir, ya.

Makasih.

Salam santun 😊🙏

Izin Mendua Di Malam PertamaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant