7 - Pamit

1K 73 6
                                    

"Eh, Agung?" Entah kenapa Umma harus kikuk begini, padahal hampir setiap hari dia ketemu Agung di sini. Dan melihat dua kantong kresek yang ditentengnya, tentu saja tujuannya masih sama.

"Masih belajar, ya?" Agung berbasa-basi.

Umma hanya mengangguk seraya tersenyum.

"Boleh duduk?" Agung menunjuk ruang kosong di samping Umma dengan kedikan dagu.

"Oh, boleh." Umma semakin kikuk, karena biasanya dia yang akan menyilakan lelaki itu duduk.

Agung meletakkan makanan yang dibawanya tepat di samping Umma, lalu menduduki ujung bangku yang masih tersisa. Makanan itu alih-alih perantara, karena perempuan di sampingnya ini sudah resmi berstatus istri orang.

"Sekali lagi selamat, ya." Ucapan Agung yang disertai senyum lebar itu terdengar tulus.

"Makasih."

Kemarin, Agung butuh waktu berjam-jam sebelum akhirnya memutuskan untuk menghadiri resepsi pernikahan Umma. Memang tidak pernah ada apa-apa di antara mereka. Selama ini hanya dia yang berharap. Namun, tetap saja, melihat orang yang dicintai bersanding dengan lelaki lain di pelaminan bukan hal yang mudah. Jujur, dia rada malu karena resepsi itu hanya berjarak tiga bulan sejak lamarannya ditolak. Orang-orang tentu masih ingat jelas. Dia khawatir gagal tampil sebagai seseorang yang hatinya masih baik-baik saja.

Namun pada akhirnya dia sadar, dia bukan lagi remaja yang akan kalah dengan hal semacam ini. Mungkin orang-orang akan lebih membicarakannya kalau sampai dia tidak muncul di resepsi itu. Maka, dengan berat hati Agung pun datang dengan sekuntum keikhlasan dan segala doa kebaikan untuk kedua mempelai.

"Adam nggak ikut ke sini?"

"Lagi ketemu teman-temannya. Karena, besok kami udah mau ke Jakarta." Sampai detik ini Umma masih terbata tiap kali mengucapkan soal keberangkatan itu.

"Yah, nggak bisa ketemu lagi dong." Agung terkekeh pelan.

Umma melakukan hal serupa, tapi lebih pelan. Ada getir yang menghambat sudut bibirnya tertarik lebih lebar.

"Anak-anak sudah tahu?"

Umma menggeleng. "Karena itu aku ke sini, mau pamit sama mereka."

"Mereka pasti akan sangat kehilangan." Aku juga ....

"Sama. Aku pasti akan merindukan mereka dan tempat ini." Umma lagi-lagi mengedarkan pandangan.

Diam-diam Agung beristigfar dalam hati, karena barusan menyelami keindahan wajah perempuan yang sudah menjadi milik orang lain.

"Gung, makasih, ya."

"Untuk?"

"Makanan yang kamu bawa setiap hari ini."

"Astaga. Kirain apaan. Udah sering banget kamu bilang makasih. Santai aja kali."

Setelah kenal cukup lama, Terkadang Umma masih takjub, bagaimana Tuhan menciptakan sosok lelaki sebaik ini. Agung punya restoran di pusat Kota Makassar, dan setiap hari dia rela meluangkan waktunya, bergelut dengan kemacetan hanya untuk mengantar makanan gratis ke sini. Menunya juga tidak asal-asalan. Bahkan, mungkin salah satu menu favorit di restorannya.

"Apa yang kamu lakukan ini, nggak semua orang bisa."

"Dibandingkan apa yang kalian berikan ke anak-anak itu, makanan ini nggak ada apa-apanya. Banyak orang yang bisa menyumbangkan harta mereka, tapi hanya beberapa yang bersedia menyumbangkan waktunya.

Kalian rela menyisihkan waktu demi anak-anak itu. Padahal mereka bukan siapa-siapa kalian. Dan yang paling bikin aku takjub, kalian melakukannya karena hati, bukan karena rupiah."

Izin Mendua Di Malam PertamaWhere stories live. Discover now