8 - Apa Jadinya setelah Dia Pergi?

989 80 7
                                    

"Adam akan menikahi perempuan lain."

Kening Rena seketika berkerut. Siapa pun yang mendengar perkataan Umma tadi pasti menunjukkan reaksi yang sama. "Maksudnya?" Dia sebingung itu.

Umma tidak langsung memberikan penjelasan, seolah pemahamannya sendiri masih tertatih. Sekian detik dia hanya terisak, membuat Rena kian bingung dan khawatir.

"Umma ...." Rena menyentuh pundak sahabatnya, alih-alih menuntut sebuah penjelasan.

"Sebelum pulang untuk menikahiku, ternyata Adam lebih dulu membuat kesepakatan dengan perempuan lain. Mereka akan menikah." Suara Umma bercampur isak.

Rena membekap mulutnya yang seketika ternganga saking kagetnya. "Kok, bisa gitu?"

Sebenarnya Umma masih ragu untuk membeberkan masalah ini. Namun, dia juga tidak sanggup menyimpannya sendirian. Dan dia yakin, Rena adalah orang yang paling tepat untuk diajak berbagi.

"Perempuan itu putri bosnya. Mereka membuat kesepakatan yang nantinya akan saling menguntungkan."

"Saling menguntungkan gimana?" Emosi Rena mulai tersulut, kentara dari nada suaranya. Baru saja menikah tapi sahabatnya ini malah berlinang air mata. Tentu saja dia tidak rela.

Karena telanjur dimulai, Umma pun menceritakan semuanya secara rinci, persis seperti yang dia dengar dari Adam.

"Ya nggak bisa gitu, dong." Rena memukul meja. "Kok mereka bisa segampang itu ingin mempermainkan pernikahan?"

Umma hanya diam. Pertanyaan itu juga yang paling sering berlompatan di benaknya.

"Terus, kamu mau aja gitu?"

Ditodong pertanyaan semacam itu, air mata Umma kembali menderas. "Itu dia masalahnya, Ren, aku bingung banget."

"Kok, malah bingung, sih? Kamu harus tegas, Umma!"

"Kamu tahu sendiri, kan, gimana cintanya aku sama Adam selama ini, gimana giatnya aku meminta dia pada Tuhan, dan ... bagaimana khusyuknya aku memantaskan diri."

"Tapi kalau ujung-ujungnya dia malah bikin kamu nangis kayak gini, buat apa?"

Umma kembali diam. Dia benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Kalian baru nikah kemarin, loh, tapi dia bisa setega ini. Gimana kalau udah setahun dua tahun? Kamu yakin dia nggak akan berbuat yang lebih aneh-aneh?"

"Aku kenal dia dari kecil. Dia nggak seburuk yang kamu kira."

"Umma, ini masalah serius, loh. Harus pakai logika juga, jangan hati semua."

"Terus, menurut kamu aku harus gimana?"

"Harus tegas! Kalau memang ada keraguan, sekecil apa pun, mending sudahi saja. Kamu ngomong baik-baik sama dia, ngomong sama keluargamu, dan besok nggak usah ikut ke Jakarta."

Umma tersentak. Saran Rena barusan memang pernah terlintas di benaknya, tapi pasti akan melahirkan lebih banyak luka.

"Nggak segampang itu, Ren. Aku harus bilang apa ke orangtuaku? Demi Adam aku menolak lamaran Agung, membuat hubungan keluargaku dengan keluarganya jadi canggung. Apa kata mereka kalau tiba-tiba aku memilih cerai?" Kekalutan membuat air mata Umma terus berjatuhan.

"Di saat-saat seperti ini ada yang jauh lebih penting kamu pikirkan daripada mereka; hatimu, hidupmu."

Umma paham. Namun, pikirannya selalu saja berpulang ke titik awal setiap kali berusaha menemukan solusi.

"Kalau memilih maju, satu hal yang harus kamu ingat, kalian akan menghabiskan waktu bersama dalam jangka panjang. Bukan sehari dua hari. Kalau di awal saja sudah sekacau ini, kamu yakin hatimu bisa selalu kuat?"

Umma menengadah sambil meraup oksigen banyak-banyak, sekadar melapangkan dadanya yang terasa semakin penuh. Entah dosa apa yang dia perbuat di masa lalu, hingga Tuhan mengutuk pernikahannya seperti ini.

Rena menggenggam tangan Umma, alih-alih agar sahabatnya itu menatapnya.

"Umma, aku tahu secinta apa kamu sama Adam. Maaf kalau aku malah suuzan sama suamimu itu." Rena melunakkan suaranya. Segereget apa pun dia terhadap masalah sahabatnya ini, tetap ada batasan yang tidak boleh dilalui. Bagaimana pun, Umma datang padanya karena dia butuh dukungan, bukan semata-mata terjangan penghakiman. "Di sini, aku hanya mencoba memosisikan diri sebagai sahabat yang bisa kamu percaya."

Umma tampak lebih tenang, meski air matanya masih saja bergulir.

"Sekarang, coba jujur sama aku, apa yang paling kamu takutkan saat ini?"

Umma berpikir sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Aku takut kehilangan Adam." Umma sadar, jawabannya ini mungkin terdengar naif, tapi ketakutan itu benar-benar ada. Karenanya, sebelum Rena protes, dia buru-buru menambahkan. "Maksudnya, aku takut kehilangan Adam tanpa memberinya kesempatan terlebih dahulu untuk bertanggung jawab terhadap keputusannya."

Kendati sudah disertai alasan, Rena masih tampak tidak habis pikir. "Selain itu?"

"Aku takut mempermalukan orangtuaku. Aku takut jadi bahan gunjingan orang-orang. Aku takut dianggap kena karma karena menolak lelaki sebaik Adam."

"Kalau menurut aku, kamu terlalu banyak memikirkan hal-hal di luar sana, padahal inti permasalahan yang harus segera diuraikan ada di diri kamu sendiri."

Umma menunduk, membenturkan tatapan kosongnya ke lantai. Namun, dia mencerna baik-baik setiap kata yang diucapkan Rena.

"Tapi, semua ketakutan kamu tadi sangat manusiawi. Bisa jadi aku pun merasakan hal yang sama jika ditempatkan di posisimu."

Umma mengangkat pandangannya saat merasakan genggaman Rena mengerat.

"Kamu yang lebih tahu jalan mana yang harus kamu tempuh. Apa pun itu, tolong pikirkan baik-baik. Dan ingat selalu mohon petunjuk kepada Allah."

"Makasih, Ren." Umma memaksakan seulas senyum.

***

Saat menyusuri lorong menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan utama, Agung berkali-kali menoleh ke belakang, menatap bangunan sekolah itu yang mungkin mulai besok auranya akan terasa berbeda. Belum apa-apa dia sudah merasa hampa.

"Sekali lagi makasih, Gung, untuk semuanya."

Kalimat Umma terngiang-ngiang. Di telinganya, ucapan terima kasih itu justru menjelma kalimat pamit paling purna. Sungguh, mulai besok dia tidak akan mendapati senyum perempuan itu lagi di sini?

Sebelum benar-benar mencapai mobilnya, langkah Agung terhenti. Dia kembali menoleh, padahal sekolah itu kini hanya terlihat atapnya karena sudah terhalang rumah-rumah warga.

Umma ibarat mataharinya sekolah itu. Apa jadinya setelah dia tidak di sini lagi? Anak-anak akan kehilangan panutan, sementara Agung akan kehilangan salah satu sumber semangat yang selalu membuat harinya terasa lebih hidup. Sejak mengenal Umma, Agung menemukan banyak sekali alasan untuk senantiasa berbuat baik. Padahal selama ini sikap perempuan itu terhadapnya tidak pernah dilebih-lebihkan. Namun, Agung justru terpikat dalam kesederhanaan.

Apa jadinya setelah dia pergi ...?

Lelaki berpostur tinggi tegap itu berusaha menelaah perasaan aneh yang menyesaki dadanya. Siapa pun yang mengenal Umma dan kiprahnya untuk sekolah ini, pasti punya perasaan tidak rela melepasnya. Namun, harusnya tidak perlu sepekat yang dirasakan Agung.

Agung sudah melirikan istigfar berkali-kali, tapi perasaan yang tidak semestinya itu masih saja menjalari hatinya dengan leluasa. Rasa tidak relanya jatuh di tempat yang salah. Sialnya, dia sama sekali tidak bisa mencegah.

Agung buru-buru masuk ke mobilnya, sebelum kedua kakinya melangkah di luar perintah untuk kembali melihat Umma sekali lagi. Padahal, sejak kabar pernikahan Umma berembus, dia sudah membesarkan hati berkali-kali. Nyatanya belum cukup. Dia masih saja serapuh ini.

***

[Bersambung]

Yang udah baca, makasih banyak, ya. Semoga rezekinya makin lancar.

Amin.

Mampir juga ke cerita saya yang lain, ya.

Salam santun 😊🙏

Izin Mendua Di Malam PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang