6 - Senyum yang Membuat Tercekat

781 61 9
                                    

Tiga bulan yang lalu, saat Umma mengabarkan seorang lelaki melamarnya, Adam mendadak panik. Terlebih setelah tahu lelaki itu adalah Agung. Di tanah kelahirannya ini, siapa yang tidak kenal Agung? Lelaki dari keluarga kaya yang dermawan, gemar berdonasi setiap kali ada penggalangan dana untuk bantuan kemanusiaan. Karena itu, menurut Adam, nyaris tidak ada kemungkinan untuk menolak lamaran lelaki seperti Agung. Dia memenuhi kriteria calon menantu idaman.

Namun siapa sangka, Umma malah menolak lelaki itu dan bertahan menunggunya. Hal ini tentu saja membuat Adam terharu dan bertekad untuk melamar Umma secepatnya. Atau kalau tidak, perempuan itu benar-benar akan diambil orang.

Dan hari ini, lembaran baru telah dimulai. Sekarang Adam sah berstatus suami Umma. Lelaki yang seharusnya menjaganya luar dalam, memastikan segenap kebahagiaannya. Namun, dia malah membuatnya menangis di malam pertama. Suami macam apa itu?

"Gimana kerjaan kamu, Dam?" Ayah Umma bertanya. Saat ini mereka tengah makan siang.

"Alhamdulillah, lancar, Pak."

"Serius, besok kalian sudah mau ke Jakarta?" Ibu Umma bertanya dengan nada tidak rela.

"Iya, Bu, karena cuti saya sudah habis."

"Nggak bisa ditunda sehari gitu?" Bukan tanpa sebab Ibu Umma seberat itu, karena selama ini putri bungsunya itu tidak pernah jauh darinya.

"Maaf, Bu, tapi benar-benar nggak bisa." Adam terkekeh ringan.

"Ibu pasti akan sangat rindu." Sang Ibu menatap Umma dengan mata berembun.

"Umma masih di sini, Bu, masa udah mau nangis segala?"

Sepanjang Umma bicara, Adam meliriknya. Dia masih menampilkan raut baik-baik saja. Dia benar-benar perempuan yang luar biasa.

"Jangan menunda punya momongan, ya. Semakin cepat semakin baik."

Umma hanya nyengir menanggapi permintaan ibunya. Dia juga maunya begitu, tapi dengan kondisi yang ada, semuanya jadi serba abu-abu. Untuk saat ini Umma tidak berani berpikiran terlalu jauh.

Tidak puas dengan tanggapan Umma, ibunya malah beralih ke sang menantu. "Dam, jangan ditunda, ya."

"Insyaallah, Bu." Adam tersenyum lebar. Saat menoleh ke Umma, ternyata istrinya itu juga sedang menatapnya. Tatapan mereka bertalian beberapa jenak, sebelum akhirnya Umma yang lebih dulu melerainya.

Apa yang sedang kamu pikirkan saat ini, wahai istriku ...?

Hampir di sepanjang acara makan siang itu, Adam banyak bercerita soal perjuangannya dari nol di Jakarta. Bapak Ibu mertuanya mendengarkan dengan antusias. Sesekali mereka menimpali dengan decak kagum.

Sementara Umma, dia tetap fokus dengan makanannya. Dia sama sekali tidak tertarik ikut ambil bagian di obrolan itu, karena jelas-jelas Adam punya satu rencana besar yang tidak akan diungkapkannya di meja itu.

***

Mengingat besok mereka akan ke Jakarta, hari ini Adam dan Umma meluangkan waktu untuk berpamitan sama keluarga besar dan sahabat. Di mana pun, selayaknya pengantin baru, orang-orang mendoakan mereka agar langgeng hingga maut memisahkan. Anehnya, Umma masih ragu antara mau mengaminkan atau tidak.

Selepas dari rumah orangtuanya, Adam ingin menemui teman-teman nongkrongnya dulu sebelum merantau ke Jakarta. Sekadar melepas kangen. Soalnya jarang-jarang dia bisa pulang. Merasa tidak penting untuk ikut serta, Umma lebih memilih menemui Rena dan anak-anak didiknya di sekolah. Untungnya Adam mengizinkan.

Setibanya di depan lorong masuk ke sekolah, Umma turun dari mobil tanpa berkata apa-apa.

"Kalau udah selesai, telepon, ya," pesan Adam seraya tersenyum tipis.

Umma hanya mengangguk. Setelahnya, dia langsung masuk tanpa menunggu Adam pergi lebih dulu. Dia menyusuri lorong sempit itu dengan pikiran yang masih sama sejak tadi malam. Kalau memilih mundur, dia harus bilang apa ke orangtuanya? Kalau memilih bertahan, untuk apa? Kalau mundur, bagaimana dia harus menghadapi cibiran orang-orang? Kata apa yang pantas untuk perempuan yang menolak lelaki sebaik Agung demi lelaki tidak bertanggung jawab? Kalau pun harus bertahan, dia tidak yakin akan kuat menerima kehadiran perempuan lain di sisi Adam. Meskipun pernikahan yang mereka rencanakan tanpa rasa sama sekali, status perempuan itu nantinya tetap istri sah Adam.

Pertimbangan-pertimbangan itu memenuhi kepala Umma, sampai-sampai tanpa sadar dia mengabaikan sapaan orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Hampir semua orang di pemukiman kumuh itu mengenal Umma, si guru relawan yang bersahaja. Mereka pasti heran karena hari ini perempuan yang baru saja melepas status lajangnya itu malah tidak seceria biasanya.

"Assalamualaikum ...." Umma mengucap salam sambil mengetuk pintu, menginterupsi proses belajar mengajar yang sedang berlangsung.

Bangunan sekolah itu semi permanen. Dibanding awal-awal buka, sekarang jauh lebih layak. Lantai semennya tidak berlubang lagi, dinding papannya sudah dicat putih gading. Atapnya yang semula hanya seng-seng bekas juga sudah diperbarui. Dan semua itu berkat Agung.

Rena yang sedang fokus mengajar langsung menoleh ke arah datangnya salam. "Waalaikumsalam ...." Senyumnya mengembang sempurna begitu tahu siapa yang datang. "Umma?" Dia langsung merentangkan kedua tangannya sebagai sambutan.

Umma pun masuk dan memeluk sahabat seperjuangannya itu.

"Kamu ini, meluknya kayak kita nggak ketemu puluhan tahun aja." Umma menepuk pelan punggung Rena. Perempuan berkerudung panjang ini salah satu sahabat terbaik yang dia punya.

"Kan, meluk sahabat yang masih singgel sama sahabat yang udah jadi istri harus beda." Rena terkekeh sambil melerai pelukannya.

"Ada-ada aja." Umma ikut terkekeh.

"Kak Umma ...." Tahu-tahu anak-anak yang jumlahnya delapan orang itu sudah bangkit dari bangkunya dan sedang berbaris rapi untuk bergiliran menyalami Umma.

Umma pun meladeninya dengan dada yang menghangat. Ada perasaan ajaib yang sulit dijabarkan setiap kali berada di tengah-tengah mereka.

Sekolah ini memiliki waktu mengajar yang fleksibel. Artinya, Umma dan guru relawan lainnya mengikuti waktu paling luang anak-anak itu. Mereka rata-rata putus sekolah karena tidak ada biaya dan akhirnya terpaksa harus bekerja di usia dini demi membantu perekonomian keluarga. Di jalanan mereka tersebar sebagai pengamen, penjual koran, tukang sampah, penyapu jalanan, dan beragam kerja serabutan khas masyarakat bawah lainnya.

Umma dan teman-temannya hadir di tengah-tengah mereka bak malaikat yang berusaha menyadarkan, bahwa betapa penting bekal ilmu pengetahuan untuk masa depan mereka yang lebih baik. Dan ilmu bukan hanya bisa didapatkan di bangku sekolah resmi.

Kendati demikian, masih ada saja orangtua yang acuh terhadap uluran tangan Umma dan teman-temannya. Daripada ikut belajar, mending anak-anak mereka turun ke jalan mencari uang. Hasilnya lebih jelas, katanya. Itulah mengapa, murid sekolah itu segitu-segitu saja dari tahun ke tahun. Namun, hal itu tidak pernah menyurutkan semangat Umma dan teman-temannya.

"Ren, kamu lanjutin dulu, deh. Aku tunggu di luar."

Rena mengangguk mengiyakan.

Waktu anak-anak itu sangat langka. Kadang sementara belajar mereka malah dipanggil orangtuanya karena ada sesuatu yang harus dikerjakan. Makanya, Umma tidak ingin mengganggu terlalu banyak, sekalipun sebenarnya dia datang untuk pamit dan mungkin ini kali terakhirnya datang ke sekolah itu.

Setibanya di luar, Umma duduk di bangku panjang yang berada di samping pintu. Perempuan berjilbab biru tua itu mengedarkan pandangan. Begitu banyak kenangan yang sudah terlewati di tempat ini. Dengan dilema yang sedang dihadapinya, rasanya semakin berat untuk pergi.

"Assalamualaikum ...."

Suara berat itu menyudahi lamunan Umma. Dia menoleh sambil menjawab, "Waalaikumsalam ...."

Agung tersenyum sopan seperti biasanya. Namun, entah kenapa kali ini senyuman itu membuat Umma tercekat.

***

[Bersambung]

Ada yang mulai naksir sama Agung? 😁

Izin Mendua Di Malam PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang