BAB 1 : MY FIRST STORY

639 43 0
                                    

Cinta ....

Keluarga ....

Persahabatan ....

Apa mungkin semuanya bisa didapatkan di dalam rumah?

-Not House, but Home-

...

Dinangga Atma

Terkadang, hidup yang tidak diinginkan adalah hidup yang harus dijalani. Berusaha apa pun seseorang menolak, takdir seakan terus menghampiri. Meminta untuk menetap, belajar mencintai hal yang dibenci.

Begitu menurut Dinan. Cowok berusia belasan tahun itu memejamkan mata, setengah menahan diri untuk tidak terang-terangan mengembus napas kasar.

"Den, pokoknya kalau sampai sini wajib coba bakso di depan gedung kota. Lagi ramai itu, Den."

Tanpa menjawab, mata bundar itu memperhatikan jalanan dengan sayu. Pagi yang terik, terasa cerah tapi tidak untuk hidupnya di tempat lama dan sini sama saja. Meskipun dengan embel 'baru' tetapi tetap saja Dinan sulit menikmatinya.

Mobil berhenti, begitu traffic light menunjukkan warna merah. "Sekolahnya masih jauh?" tanya Dinan.

Sopir berseragam abu gelap itu mengangguk. Sungguh, sebenarnya Dinan tau di mana letak sekolah itu berada. Pasalnya sebelum berada di kota ini, jarak rumahnya yang berada di kota sebelah membuatnya seringkali bolak balik hanya untuk sekedar mencari angin.

Ah, menghabiskan bensin juga mungkin.

"Sebentar lagi sampai, Den." Mobil kembali melaju. Tak hentinya dari bangku belakang, Radin menatap jengah, mengedarkan pandangan ke luar kaca. Formalitas Papa, sungguh Dinan mengetahuinya. Harusnya, pria itu tidak perlu repot-repot meminta supir pribadinya seperti ini. Lagipula, semua kerepotan hanya dilakukan dengan jangka sehari.

Sebagai penghuni baru di sekolah nantinya dan apa perlu Dinan menjabarkan bahwa ia juga sebagai penghuni baru di keluarga Papa?

Ya, sebagai penghuni baru dari keluarga yang terpecah belah.

"Den? Sering dengar--"

Dinan memejamkan mata, menyumbatkan headphone di kedua telinga. Playlist musik dari My First Story dimainkan dengan volume setengah. Mendadak saja, matanya menangkap sampul majalah bergaya monokrom di sela belakang kursi pengemudi. Investasi? Bisnis? Ekonomi?

Penasaran, Dinan meraih. Membolak-balikkan majalah berhalaman dua puluhan. Ah, gerakan tangannya terhenti saat wajah bundar dari seseorang terpampang jelas di sana.

Wajah bundar yang sama sepertinya, hanya saja dengan sorot mata yang berbeda. Papa, selalu memiliki sorot mata berbinar dan semangat jika itu menyangkut urusan pekerjaan, begitu juga Mama yang berada di kota sebelah. Lantas, sorot mata sayu yang dimiliki Dinan milik siapa?

Mungkinkah pandangan dari kedua orang yang berubah ketika sudah memasuki rumah? Oh, tentu. Seingat Dinan, energi positif yang didapat dari luar, seakan berbalik jika berada di rumah. Paling-paling hal itu terbantahkan jika ada pemotretan dengan tema pebisnis sukses dan keluarga harmonis seperti ini.

"Cih, pencitraan," desis Dinan tanpa dapat ditahan, begitu membaca isi wawancara di majalah dan juga foto ketiga anggota keluarga yang tampak harmonis, duduk di ruang tengah.

"Den? Ini sekolahnya."

"Eh?" Dinan tersentak, secepat mungkin ia menutup majalah dengan gerakan kasar, lalu setengah membanting pintu mobil dengan kencang. Biarkan saja, bukankah pria pemilik mobil ini bisa membelinya lagi dengan mudah? Hanya satu, bukan berarti apa-apa untuk dompetnya yang tebal.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now