BAB 18 : I KNOW, YOU HAVE A BIG DARK SIDE

85 9 8
                                    

Pada akhirnya, rasa sepi itu hadir, di tengah-tengah keramaian yang tidak dapat dihindari lagi

-Not House, but Home-

...

Airpod ....

Headset ....

Headphone ....

Dinan mendesis, setengah menghentakkan kepala ke dua tekukan lutut dengan kasar. Bodoh, ingin rasanya ia mengutuki. Memang sulit menjadi anak penurut dan baik, buktinya saja di tengah mata pelajaran yang masih berlangsung, ia malah berada di sini. Tepat belakang ruang musik.

Tidak ada pemandangan yang bagus selain rerumputan liar yang tumbuh di tanah hitam yang gembur, lalu tembok bata sebagai pagar belakang tanpa lapisan semen dan cat.

Ah, menyebalkan. Bagaimana bisa ia meninggalkan barang penting yang senantiasa menyumbat di telinganya?

Ia butuh, sangat. Namun, entah kenapa langkah kakinya ingin berhenti di sini saja. Tidak lagi bangkit, bahkan untuk menuju kelas.

"Hidup lo sempurna, Bego!"

"Berisik," umpat Dinan berbicara entah untuk siapa, pikirannya mungkin? Ya, pikiran menyebalkan. Ketika ia berusaha memati-matian menenangkan diri dan meminta untuk berhenti malah semakin tidak terkendali.

Napas yang terengah dan seluruh ujung jari yang mendingin seketika. Dinan setengah menghentakkan kepala ke dinding dengan kuat, memejamkan mata. Bodoh, bahkan dengan cara ini kesadarannya masih saja bertahan.

"Ada banyak orang yang mau hidup kayak lo."

Lagi-lagi ekspresi Raya dan ucapan itu terdengar semakin jelas. Tidak hanya berapa menit yang lalu, tapi tubuh yang entah dari mana memiliki bakat merekam suatu hal dengan jelas ini, membuat Dinan kewalahan sendiri. Raya tahu apa tentangnya, hm?

Hanya sebatas teman sebangku yang jarang sekali keduanya berbicara. Meskipun satu band juga, Dinan tidak pernah ingat kalau ia pernah berbicara dengan lebih dari lima kali.

Paling hanya si pemaksa Dikta. Itu pun dengan setengah hati Dinan menjawab agar cowok itu dapat berhenti berbicara secepatnya.

"Berisik," lirih Dinan, berdecak. Meringkuk, memeluk lutut dengan erat. Jika kehidupannya bagi Raya menyenangkan, seperti kehidupan orang normal yang cowok itu katakan. Sungguh, jika dapat bertukar hidup,  maka dengan senang hati Dinan akan memberinya secara gratis.

Terkesan kekanak-kanakan tapi biarlah, meskipun ia tidak mengetahui seperti apa kehidupan Raya, bahkan apa yang dilalui cowok itu sampai bersikap lebih dari kata 'menyebalkan', setidaknya Dinan tidak pernah mengecap seenaknya bahkan ikut campur dalam urusannya.

Apa yang enak dari melihat perselingkuhan Papa secara terang-terangan sedari kecil?

Apa yang menyenangkan dari memiliki keluarga dengan menjadikan keributan sebagai makanan sehari-hari? Ah, berlebihan, tidak sehari-hari juga. Tetapi, jika bukan keributan, paling Dinan terus mendengar suara bantingan pintu maupun pecahan kaca dari lantai bawah.

Itukah kehidupan yang Raya inginkan? Apa seperti itu kehidupan yang harusnya dijalankan setiap orang? Berada dalam tekanan, ego, gengsi, dan bagi yang kalah saing maka akan bebas dibuang begitu saja?

"Lo harusnya bersyu--"

"Dinan ...." Kedua tangan Dinan yang perlahan ingin menutup telinga sontak saja terhenti begitu ada kedua tangan yang terlebih dahulu menutupinya dengan erat.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now