BAB 45 : MIRROR 180°

69 7 2
                                    

Saat melihat kekurangan, kita seakan mengalami titik buta. Dapat melihatnya pada orang lain, tetapi tidak untuk diri sendiri.

Not House, but Home

...

Semenjak hari itu, baik Rin, Raya maupun Dinan tidak pernah lagi melihat salah seorang pemilik bangku depan. Dikta? Ya, tidak ada yang bisa memperkirakan kapan cowok itu terakhir menginjakkan kaki ke sekolah. Bahkan acara ulang tahun sekolah sudah diselenggarakan tanpa adanya band yang dihadirkan keempatnya.

Jangan tanyakan lagi bagaimana sepinya kelas. Tanpa tawaan kencang ataupun kejailan kecil yang berhasil meramaikan suasana.

"Bahkan dia juga nggak muncul di grup." Raya melepaskan ponsel di tangan dengan kesal, menyandarkan punggung di sisi kursi seraya menatap langit ruangan. "Gue benci cara lost contact kayak gini."

Rin yang berada di bangku depan, berbalik arah, menatap meneduhkan. "Mungkin Dikta butuh istirahat."

Raya menatap tajam. "Dia memang istirahat, tapi juga sekalian jauhin kita-kita. Lihat? Udah berapa kali kita kunjungi dia di rumah sakit, dan hasilnya?"

Raya menghentakkan meja, lalu menggeleng pelan. "Dia bahkan nggak mau dijenguk siapa pun. Yang benar aja. Din ... gue manggil lo, woi!"

Dinan yang sibuk memperhatikan cara pengerjaan soal di buku setebal empat senti itu menoleh seketika. Buku latihan untuk menghadapi ujian nasional. Baik Rin maupun Raya ingin saja mengangkat kedua tangan sekarang juga.

Ayolah! Sudah berapa banyak rangakaian ujiannyang harus dikerjakan? Ulangan tengah semester, sudah. Harian? Sudah. Akhir? Juga sudah. Sekarang? Apa masih banyak lagi perjalanan yang harus dihadapi? Tidak bisakah waktu membiarkan seseorang beristirahat sejenak?

"Apaan?" tanya Dinan.

"Belajar mulu. Sesekali segarin pikiran lo." Raya menyambar buku soal, lalu setengah meletakkannya ke meja depan, agar jauh dari jangkauan Dinan. "Lo teman dekatnya Dikta dari dulu, kan?"

Dari dulu? Dinan tertawa hambar, mendadak ingatannya kembali pada bola kaki yang pernah ditunjukkan Dikta. "Nggak juga, kebetulan tinggal di satu perumahan."

Seakan tidak peduli dengan jawaban Dinan, Raya merenggangkan jari lalu melipatnya ke meja, mencoba memancing kantuk ketika jam istirahat kedua berlangsung. "Lo bantu bujuk dia, gih. Gue udah hilang ide."

"Gimana kalau sekalian berapa salinan catatan sama tugas?" usul Rin.

"Kayak yang pernah lo lakukan dulu ke gue?" tanya Dinan, tertawa pelan begitu raut wajah Rin berubah sesaat. "Bercanda. Makasih buat waktu itu. Entar gue coba kunjungi dia."

"Pulang sekolah ini lo harus coba," ucap Raya, memejamkan mata.

"Gila lo!"

"Kenapa, dah?" tanya Raya, memperhatikan dengan malas. "Lo tau betapa berharganya waktu buat dia, kan? Menunda, dalam kondisi dia kayak gitu, benar-benar bukan cara yang tepat."

"Rin?" panggil Dinan. "Mau ikut gue?"

Rin menggeleng, menyengir. "Maaf, Dinan. Aku ada janji mau pergi sama Mama pas pulang nanti."

Dinan mengangguk pasrah, kembali meraih bukunya di bangku depan lalu membukanya. "Entar gue coba."

***

Dan pada akhirnya ia harus terdampar di sini.

Dinan mencengkeram beberapa buku catatan dengan erat. Sembari memperhatikan salah satu pintu ruangan yang terdapat di lantai lima. Tertutup rapat, kamar khusus yang dihuni seseorang, benar-benar dapat beristirahat tanpa adanya gangguan.

Ya, mungkin si berisik Dikta tidak akan pernah betah dalam suasana seperti ini.

Sepi yang menenangkan, tetapi untuk beberapa orang seperti ujian tersendiri. Ketika sepi, akan ada banyak hal gelap yang muncul, lalu di saat sudah terbiasa dengan rasa sepi itu maka sedikit suara keras saja dapat menimbulkan kecemasan begitu sangat.

Ah, dan Dikta coba menghadapinya sendirian?

"Sok kuat," umpat Dinan, mengetuk pintu dengan kuat, lalu terbuka dengan cepat. Seorang perempuan paruh haya tampak tersenyum, menyambutnya dengan cerah. Dinan berusaha memiringkan badan, memperhatikan seseorang lagi yang berada di dalamnya.

"Dik, izinin, ya. Ini sudah berapa kalinya teman kamu mau datang."

"Siapa, Ma?" tanya Dikta pelan, layaknya sebuah gumaman.

"Dinan."

Entah termasuk keberuntungan atau bukan, pintu terbuka lebar. Langsung saja Dinan masuk, Mama Dikta meninggalkan keduanya di ruangan. Langkah Dinan terhenti, ketika hendak menutup pintu ruangan.

Kurus, pucat, dan ....

"Dik?"

Dikta menyengir, cowok berjaket merah itu bersandar di sisi brankar, sembari membenarkan rambutnya. Tampak lebat dan tentu saja berbeda dengan apa yang biasa Dinan lihat. "Gimana wig gue? Bagus? Harganya mahal ini."

Dinan hanya mengangguk sebagai jawaban, meletakkan beberapa buku di meja nakas. "Catatan sama tugas dari Rin. Mereka cemasin lo."

"Tolong bilang, berhenti cemasin gue."

Dinan menoleh, memastikan kondisi kembali. "Nggak gini caranya kalau lo mau menjauh dari orang-orang, Dik."

"Lo tau apa tentang gue?" tanya Dikta, senyum yang tadi berusaha dipertahankan kini turun seketika, menatap tajam. Tidak pernah siapa pun lihat sebelumnya, perlahan Dinan mencoba nengerti mengapa Dikta menjaga jarak dari orang terdekatnya.

Berada di dalam kondisi ini, pasti suasana hati itu begitu cepat berubah.

"Lo nggak mau nyakitin orang lain?" tanya Dinan hati-hati.

Dikta mengangguk pelan. "Gue juga nggak mau merepotkan orang lain. Gue tau cara gue salah tapi ... udah cukup gue egois, Din. Jangan sampai gue lakukan lagi."

"Mustahilkan?" Dinan tersenyum sinis. "Apa pun yang yang lo lakukan-ah, gue juga, semuanya terlihat egois."

"Ya, mungkin." Kedua sudut bibir Dikta terangkat samar. "Raya ada cerita sesuatu sama lo?"

Dinan mengangguk. "Semuanya. Dia pikir gue berhak tau tentang lo."

"Sejujurnya, gue nggak tau bakal senang atau sebaliknya saat menang dari taruhan kita."

"Gue yang masuk ke dunia lo? atau lo yang masuk kedunia gue?" lengkap Radin, mengeluarkan sekantong buah dari tas lalu menyusunnya di keranjang kecil yang tersedia. "Salah kalau gue bilang lo menang. Pada akhirnya gue belum melakukan apa-apa."

"Tanpa melakukan apa-apa, lo juga berhasil narik gue dalam rasa bersalah itu, Din."

"Bersalah?" Dinan menoleh. "Di bagian lo nggak mau bokap nyokap lo pisah?"

Dikta mengangguk pelan, lalu memalingkan pandangan, memperhatikan suasana matahari terbenam dari jendela ketika sinar jingganya mulai memasuki ruangan.

Kedua tangan Dinan tergepal erat, menatap pemilik tubuh kurus yang kepucatan itu dengan sungguh-sungguh. "Kalau gitu, tolong izinin gue."

Dikta tertawa pelan. "Izinin apa, hah?"

"Biarkan kali ini gue masuk dan selesaikan semua masalah lo."

____

Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Vote, komen dan krisarnya sangat membantu!
Update : 09.01.21

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang