BAB 36 : STORY PART OF ADIKTA PRIMA 4

65 8 5
                                    

Berpisah. Satu perasaan terburuk yang pernah dirasakan oleh seseorang, tetapi siapa sangka? Ada kalanya seseorang harus melepaskan, tanpa memaksa seseorang untuk bertahan dengan luka.

Not House, but Home

...

Dikta terlonjak seketika. Cowok yang kini menduduki kelas satu SMA itu membuka mata tiba-tiba, mengusaikan benaman wajah dari kedua tangan yang terlipat di meja belajar.

"Dua belas malam," gumamnya pelan, menatap jam di meja belajar dengan setengah sadar. Ia membuka sedikit gorden, dan ah .... Dikta meraih selimut yang membalut belakang punggungnya. Pasti Mama, lagi-lagi ia ketiduran saat mengerjakan tugas sekolah.

Prangg!

Suara pecahan kaca dari lantai bawah terdengar, lalu disusuli dengan suara bentakkan dari pria paruh baya dan Mama. Kedua tangan Dikta refleks menutup telinga dengan cepat, napasnya terengah seakan seluruh oksigen di kamar menipis seketika.

T-tunggu! Barusan ... Mama?

"Ma!" Dikta menggeser kursi, meniti turun anak tangga dengan cepat. Matanya membulat, secepat mungkin memeluk perempuan itu, memunggungi Papa saat pria paruh baya itu mulai mengangkat sebelah tangan.

"Dikta! Lanjutin ti--"

Nihil, Dikta mengabaikan perintah Mama. Ia menoleh belakang, sembari melindungi perempuan itu dalam dekapannya. Mata bulatnya membesar, memperhatikan Papa tak kalah tajam. "Pukul aku! Jangan Mama!"

Pria itu menggeram. "Dikta kamu udah berani lawan Papa?"

Sekujur tubuh tubuh itu mendingin seketika, semakin membawa Mama dalam dekapannya saat perempuan itu memberontak agar dapat melindunginya. Dikta menelan ludah, lalu mengangkat sebelah sudut bibir, sinis.

"Tergantung, berdasarkan kesalahan Papa," ucap Dikta. "Silahkan pukul aku kalau itu bisa hilangkan kemarahan Papa! Tapi, jangan pernah Papa pukul Mama!"

"Dikta!" tegur Mama secepatnya, tidak didengarkan oleh Dikta.

"Apa nggak ada cara lain selain ini? Masalah apa sampai Papa harus berbuat seperti ini sama Mama! Hah!" tanya Dikta, tidak mengerti. Panas, sungguh dadanya terasa panas dan sesak. "Jangan-jangan dia? Orang yang ada di foto waktu itu?"

"Dikta, kamu ...."

Tanpa basa-basi, tubuh itu diseret dengan paksa. Dikta melepaskan pelukan, langsung saja berdiri menjauh, lalu meringkuk saat pukulan mulai dari tangan hingga barang lainnya menghantam tubuh, berkali-kali.

Sakit. Dikta memejamkan mata, mengigit bibir bawah dengan erat, menahan ringisannya.

Papa ....

Mama ....

Bagaimana juga, biarkan ia yang menanggung semuanya, menghapus segala kesakitan yang ada.

***

"Sekian untuk rapat OSIS kita hari ini. Terima kasih untuk teman-teman semua yang hadir. Saya ucapkan selamat siang."

Keesokan harinya, suara embusan napas lega terdengar dari beberapa siswa di ruangan. Suara geseran bangku terdengar, begitu juga langlah kaki yang keluar dari ruangan OSIS.

Tepat dua puluh menit menit diselenggarakan ketika jam istirahat kedua. Sam, berstatus ketua OSIS dengan dua kali masa jabatan itu tersenyum puas. Ia mencondongkan tubuh, memperhatikan si sekretaris yang memastikan kembali hasil rapat yang telah ditulis.

"Shen, program kerjanya nanti gue kirim lagi ke lo. Soalnya ada beberapa yang masih harus gue diskusikan sama Dikta. Ya, kan, Dik?"

Dikta mengabaikan, cowok berjaket merah maroon itu memperhatikan meja dengan tatapan kosong, wajahnya pucat, seakan nyawa tidak lagi menyatu dengan raganya.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now