EPILOG

158 8 9
                                    

Tempat ternyaman untuk pulang, bukan rumah yang besar. Melainkan seseorang yang menghadirkan kenyamanan dan memberikan arti kebahagiaan.

Not House, but Home

...

Yash! Sahabat setanah air, jiwa dan raga yang Dikta banggakan ....

Kalau tulisan ini sampai ke tangan lo semua dan membacanya, berarti gue benar-benar pergi dari sisi kalian. Maaf, gue egois. Gue mencoba menarik kalian yang takut akan ditinggalkan dan pada akhirnya meninggalkan luka yang sama. Maaf, gue bersikap seenaknya.

Din, Ray, Rin, Sam. Makasih atas waktu yang kalian berikan. Makasih sudah mau berteman dengan orang seperti gue. Meskipun gue membuka luka kalian dengan akhir yang sama, tapi apa ada hal yang berbeda?

Kalau gue, ada. Meskipun nanti berpisah, gue mengenal rasa bahagia yang sesungguhnya. Tertawa, sedih, ah! Bahkan menjaili kalian benar-benar menyenangkan. Besok-besok silahkan takut kalau gue nongol di hadapan kalian. Haha ....

Pintu mobil ditutup dengan rapat. Dinan, Raya, Rin, dan Sam. Cowok dengan tuxedo dan cewek dengan dress yang digunakan sehabis pesta perpisahan sekolah itu memasuki area pemakaman, lalu menuju lahan dengan payung hitam dan beberapa taburan bunga yang selalu terlihat segar.

Bersih dan terawat. Perlahan Dinan tersenyum tipis, mengusap nama yang terukir itu dengan pelan. "Kami datang, Dik."

Buat Sam. Gue marah sama lo karena menyakiti Rin waktu itu, sangat. Tapi di sisi lain gue juga merasa kesal dengan diri gue. Kenapa lo menanggung segalanya sendiri? Gue ke mana aja, sampai tidak sadar kalau lo ... haish! Maaf, gue mengabaikan lo. Gue benar-benar nyesal.

"Dik, gue juga," gumam Sam, tersenyum samar. "Maaf, menutup diri waktu itu. Gue pikir dengan menyibukkan diri membuat gue bisa melupakan masalah itu, tapi nihil, gue meledak ke depannya. Menyakiti banyak orang."

Dinan yang setengah duduk di hadapan Sam, menunduk. Kembali membaca secarik kertas yang ia dapatkan ketika usai dari pesta perpisahan. Ah, dari Mama Dikta tentunya.

Tapi, semenjak ada Dinan, lo udah membaik, kan? Gue nggak minta lo kembali jadi Sam yang gue kenal, tapi tolong jadi versi terbaik dari lo, yang membuat nyaman dan menemukan orang yang bisa terima segala sisi dari hidup lo.

Gue bangga, ketemu orang kayak lo. Makasih, mengajak gue berteman lebih awal. Sampai akhirnya gue menjadi wakil dan yah ... band ini ada.

Sam mengangguk pelan. "Gue juga bangga ketemu orang kayak lo, Dik."

Dinan mengangkat kepala, melipatkan kaki, mendaratkan tubuh di setiap sisi jalan pemakaman yang dihiasi rumput. "Sekarang giliran lo, Rin."

Kedua sudut bibir Rin terangkat, tulus.

Rin. Makasih udah mau jadi teman sekelas gue, bahkan menemani dan memberi perhatian kecil. Apa gue sering menjaili lo? Ah, semua tutup pena ada di pouch gue, nanti diambil, ya. Maaf gue nggak bisa kembalikan secara langsung.

Rin mendengkus, tertawa. "Penaku keburu habis, Dik."

Rin, suatu saat nanti tolong temukan orang yang tepat. Ah, mungkin lo udah tahu hal-hal seperti ini dari Dinan. Tapi, benar, cinta itu bukan satu sisi, Rin. Lo boleh mencintai, tapi juga cari orang yang mencintai lo. Saat salah satunya timpang, akan menimbulkan rasa sakit yang amat besar.

Lo, pasangan lo, bahkan mungkin sosok kecil yang bakal hadir di hidup kalian.

Rin mengusap belakang leher, tertawa datar. "Dik ...."

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now