BAB 28 : FIRST LOVE

77 10 3
                                    

Mereka bilang, cinta pertama seorang anak berada di dalam rumah. Lantas, jika cinta pertama mereka malah menghancurkannya, siapa lagi yang harus ia percaya?

-Not House, but Home-

...

Entah mengapa, kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari kerap kali membosankan. Biasanya, seseorang akan tertarik untuk menemukan petualangan baru lainnya. Namun, sayangnya, tidak semua orang menemukan dan dapat mewujudkan harapannya di petualangan baru yang ia lalui. Ada kalanya, menjadi membahagiakan, atau mungkin antara realita dan ekspetasi yang begitu jauh malah menimbulkan kekecewaan mungkin?

Dinan mengembus napas panjang, menutup mata dengan sebelah tangan. Jam istirahat kedua sudah lewat lima belas menit, dan entah berapa lama lagi kedua orang di hadapannya tidak kunjung berhenti berkelahi.

"Gue bilang, jangan lagu galau, elah!" Dikta menjambak rambut Raya dengan kesal, sampai-sampai si pihak lawan terguling jatuh di lantai ruangan lalu mengepalkan tangan ketika tarikan kuat yang dilakukan Dikta dapat membotaki rambutnya.

"Ya, gimana! Gue juga nggak tau lo mau main lagu apa!" balas Raya, berusaha melepas cengkraman Dikta lalu mendorong cowok itu agar dapat menjauhinya.

"Home! Punya My First Story!" usul Dikta, mendelik kesal, memperhatikan Raya yang berada di seberang.

Raya berusaha bangkit, duduk tak jauh dari samping Dinan seraya mengacak rambut dengan gusar. "Sial! Rontok rambut gue, Dik! Gue udah bilang, nggak bisa gue main bass lagu itu!"

Dikta berdecih, memalingkan wajah, lalu memperhatikan dua orang yang tak jauh dari pintu ruangan. Rin dan Dinan, sedari tadi dua orang itu tanpa membuka suara dan menikmati pertengkaran, huh? Sama sekali tidak berminat meleraikan.

"Din, lo punya usulan?" tanya Dikta.

Dinan mengangkat kedua bahu. "Yang pasti jangan lagu favorit lo."

Merasa tidak ada hasil yang ia dapatkan, Dikt amenoleh ke arah Rin. Nihil, gadis itu menggeleng. Padahal, setahu Dikta, di antara semuanya, maka Rin yang banyak mengrtahui dan menguasai lagu. Tidak hanya bermain keyboard melainkan juga vokalnya yang lantang dan semangat.

Sangat bertolak belakang dengan kepribadian.

"Ulang tahun sekolah masih lama, elah, Dik," keluh Raya.

"Empat bulan lagi," tegas Dikta, mengulurkan sebelah tanga. "Rin, minjam buku catatan lagu lo, kali aja gue bisa nemu yang cocok entar buat dimainkan."

Rin menyodorkan buku, sudah tampak lusuh. Bahkan beberapa catatan sudah tampak buram akibat tinta yang terkena rembesan air. "Kamu mau suasana yang gimana?"

"Semangat, ceria," jawab Dikta, tanpa mengalihkan pandangan dari setiap lirik lagu. Butuh lima menit hingga suara jentikkan jari terdengar, ekspresi yang tadinya keruh kini kembali cerah. "Gimana kalau Zamrud, Selamat ulang tahun?"

Dinan menekukkan sebelah kaki. "Lo yang nyanyi. Gue nggak punya tenaga."

"Gimana kalau Last child? Memories of You?" Dikta bangkit, menyandang gitar eletriknya dengan semangat, lalu menghidupkan mic. Dinan membulatkan mata, begitu juga Rin yang mendengar kerumitan suara dari gitar yang dimainkan.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now