BAB 48 : JUST THIS ONCE

90 8 4
                                    

Apa yang pernah dihadapi dan menjadi masa lalu. Apa yang akan terjadi ke depannya di masa yang akan datang. Jauh lebih baik, fokus pada masa kini dan menghargai setiap usaha kecil yang dimenangkan oleh diri sendiri

Not House, but Home

...

Setiap pertemuan akan ada perpisahan. Begitu dengan perkenalan yang akan di akhiri dengan kata 'selamat tinggal.' Lampu ruangan aula yang mendadak gelap kini menyala. Tidak begitu terang, nuansa remang-remang memperlihatkan seseorang dengan tuxedo hitam yang menyelimuti kemeja biru mudanya.

Dinangga Atma. Ia tertunduk sejenak, sebelum mencengkeram mic yang berdiri tegak di hadapan. Dari bangku penonton sana, tidak hanya dihadiri oleh ratusan siswa tetapi juga para orang tua sebagai perwakilan.

Tetapi di antara Rin, Raya dan Sam. Hanya ada seseorang di sana. Perempuan paruh baya, dengan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai begitu saja. Setelan yang sederhana tetapi stylish, jika dugaan Dinan benar maka perempuan itu mendesainnya sendiri.

Mama Dikta. Perempuan paruh baya itu tersenyum samar, melambaikan sebelah tangan ke arah Dinan.

Dinan membalas, menatap sayu.

Kali ini gue bakal kabulkan keinginan lo, Dik. Lo cukup istirahat dengan tenang di sana.

Piano berdenting, mengalunkan salah satu lagu milik Glenn Fredly dari suara nyanyian bas Dinan yang mengalun lembut. Sekali ini saja.

Indah.

Hangat.

Mengingatkan sebagian penonton di sana kepada seseorang.

Seseorang yang ceria, jail, dan semangat. Ya, sungguh kontras dengan sorot matanya.

"Dikta," gumam Raya dari deret ke delapan dari depan, kedua tangannya terlipat, berbisik ke arah Rin dan Sam yang berada di sampingnya. "Entah kenapa gue seakan bisa lihat kalau dia sekarang lagi nyanyi bareng Dinan."

***

"Selamat! Akhirnya lo bisa pulang juga!"

Letupan dari party popper terdengar kuat, beruntun, ketika Rin, Raya, Sam maupun Dinan menarik tuasnya. Kerlap kerlip kertas kecil berterbangan seakan menyambut seseorang yang baru saja menginjakkan rumah setelah sekian lama.

Dikta, cowok berjaket merah maroon itu tertawa pelan, melepaskan genggaman dari koper kecil yang didorongnya. Ada perempuan paruh baya di samping yang seakan menuntun, lalu Papa yang sibuk menurunkan barang-barang dari belakang mobil.

Dikta menoleh, seakan mengerti arti tatapan ingin anaknya, perempuan paruh baya itu tersenyum. "Dikta sama teman-teman, ya. Mama mau letak barang-barang dulu."

"Makasih," gumam Dikta, tersenyum samar.

"Dikta! Woi! Gila gue kangen sama lo!" Tanpa basa-basi lagi langsung saja Raya menarik tubuh kurus itu lalu mendudukkannya ke sofa. Dikta nyaris oleng, bisa saja nyaris mengeluarkan isi perut ketika tubuhnya diguncang oleh Raya dengan semangat.

Dikta mengangkat sebelah tangan, memberi aba meminta untuk berhenti. "Mabok gue, elah!"

"Rin, kayaknya lo terlalu dekat arahin popper-nya. Lihat? Rambut Dikta kelap kelip kayak anak retro tahun tujuh puluhan," komentar Sam, menegakkan tubuh sembari menyingkirkan kertas-kertas yang mendarat tepat di wig hitam bercampur cokelat gelap milik Dikta.

Dikta mengerlingkan pandangan dengan tajam. Sedikit menundukkan kepala lalu mengibas rambut dengan pelan. "Lo bahkan masih jadi molekul waktu tahun tujuh puluhan."

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now