BAB 42 : IS IT HOME?

90 9 2
                                    

Jika rumah tidak lagi menjadi tempat untuk pulang, lantas di mana seseorang dapat menemukan kenyamanan?

Not House, but Home

...

"Rumah itu bukan sekedar bangunan, tapi juga tempat untuk pulang."

Dinangga Atma. Anak laki-laki yang masih berada di bangku awal sekolah dasar itu mengerjapkan mata. Dia mengetuk pena di buku catatan kecilnya dengan pelan, memperhatikan Mama yang baru saja berbisik kepadanya dengan heran.

"Rumah dibangun bukannya jadi tempat untuk pulang?"

"Iya, Dinan." Kedua sudut bibir perempuan itu terangkat, memperhatikan Dinan dengan lembut. "Tapi ada juga orang-orang yang nggak nyaman dan memilih untuk pergi. Bagi beberapa orang, di luar sana jauh lebih baik."

"Kenapa?" tanya Dinan. "Rumahnya nggak besar?"

Perempuan itu menggeleng. "Kenyamanan," gumamnya, menepuk kedua bahu Dinan. "Tanpa kenyamanan, maka rumah bukan lagi menjadi tempat untuk pulang."

"Dinan nggak ngerti," jawab Dinan, mengerucutkan bibir bawah, setengah kecewa pada diri sendiri.

Mama menggumam, bola mata itu beralih kiri kanan seakan berpikir. "Nah kalau gini aja gimana."

Dinan membenarkan posisi duduk yang tadinya merosot malas kini tegap memperhatikan Mama yang mengambil secarik kertas dan pena. "Coba deh Dinan gambar orang."

Dinan mencondongkan tubuh, menggenggam pena dengan erat lalu menggambar tiga sticky man. Berdiri bersama, saling berpegangan. Dinan tertawa pelan. "Ini Mama," ucap Dinan pada gambar sebelah kiri, terdapat pita kecil di bagian kepala, lalu beralih kepada orang di samping kanan. "Ini Papa. Nah, di tengah-tengah ada Dinan."

"Misalnya Dinan ada masalah, ah! Bukan cuma itu. Ada banyak hal yang mau Dinan ceritakan. Hal menyenangkan, menyedihkan, biasanya Dinan akan cerita ke siapa?"

"Papa sama Mama," jawab Dinan lantang, tersenyum lebar.

"Kenapa Dinan mau cerita?" tanya perempuan itu lagi.

"Kenapa, ya?" Dinan nengetuk dagu dengan telunjuk. "Karena Dinan nyaman, ada yang mau dengarin Dinan. Dinan dianggap ada. Bahkan Mama juga sering buatin bekal yang enak, terus Papa juga sering ajak Dinan liburan."

Perempuan itu tertawa pelan, mengacak puncak kepala anaknya dengan gemas. "Kalau Papa sama Mama lagi marah sama Dinan, gimana?"

"Dinan harus terima." Dinan tertunduk lesu. "Katanya, kalau Papa sama Mama mau marahin Dinan, berarti Dinan masih diperhatikan, kan? Dinan nggak mau sendirian, Dinan nggak suka."

Perempuan itu mengangguk. "Misalnya Papa atau Mama nggak mau dengarin cerita Dinan, tapi setiap selesai main atau pulang sekolah, Dinan masih bisa pulang ke rumah, apa yang Dinan rasakan?"

Hening seketika, Dinan membeku di tempat. Anak laki-laki itu menerawang kosong, membayangkan sejenak. Perlahan, tangan kecil itu tergepal erat, bergetar. "Nggak enak. Dingin, takut, asing."

Melihat perubahan ekspresi anaknya, secepat mungkin sebuah ciuman mendarat di dahi Dinan lalu memeluk anak laki-laki itu dengan hangat. "Jadi, menurut Dinan rumah itu apa?"

"Tempat Dinan pulang," gumam Dinan di pelukan itu. "Yang saling menerima apa adanya, hangat, nyaman. Dinan nggak mau sendiri. Dinan harus tetap sama Papa Mama, Dinan akan berusaha jadi kebanggaan Papa sama Mama. Membahagiakan Papa sama Mama juga."

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang