BAB 33 : STORY PART OF ADIKTA PRIMA 1

86 10 12
                                    

Dia yang penuh cahaya akankah mengingat bahwa ada bayangan yang selalu mengikutinya? Memperhatikannya dari kejauhan dan berharap dapat menjadi bagian cahaya yang menyinarinya.

Not House, but Home

...

"Dikta ...."

Perempuan paruh baya memanggil. Nihil, untuk kesekian kalinya diabaikan oleh anak berusia enam tahun itu. Perlahan ia memperhatikan kalender yang menunjukkan tanggal merah, sebelum meniti anak tangga, menuju lantai dua.

Adikta Prima. Sungguh, perempuan itu tidak tahu apakah harus senang atukah tidak melihat tingkah laku anaknya. Mungkin sekilas terlihat sepereti anak-anak yang menjadi idaman para ibu lainnya.

Penurut, tidak menuntut, pendiam, dan jauh lebih banyak menyerap pelajaran dibanding anak seusianya.

Tapi percayalah, ingin rasanya perempuan itu mengatakan sebaliknya. Melihat Dikta seperti ini, seakan seperti sebuah kegagalan tersendiri. Bayangkan, di saat ialah yang harus mengerti Dikta, di usia seperti ini Dikta yang jauh lebih mengalah dan mengerti dirinya.

Ia sebagai orang yang harusnya lebih dekat malah terasa jauh dan seperti tidak mengenal sisi dalam anak laki-laki itu. Apakah sedih? Kesepian? Atau mungkin ketakutan?

Entahlah, Dikta yang stabil. Meskipun beberapa saat ada kalanya menunjukkan ketakutan tersendiri. Sulit untuk diketahui tetapi pada akhirnya, setelah keluar dari pekerjaan dan memutuskan untuk mengurus Dikta sepenuhnya, ia perlahan mengerti.

"Dikta ...."

Pintu kamar diketuk, berhasil membuyarkan lamunan anak laki-laki yang tertunduk membaca buku dongeng di atas tempat tidurnya. Dikta menoleh, tersenyum.

"Mama masuk, ya?" Setelah mendapat persetujuan, perempuan itu melangkah masuk. Langsung saja sebelah tangannya ia daratkan ke dahi Dikta, lalu mengusap puncak kepala anaknya dengan gemas. "Dikta masih pilek? Batuk juga?"

Masih dengan baju tidurnya, Dikta menggeleng. "Nggak, Ma."

Bohong. Ingin rasanya perempuan itu mengatakan saat mendengar suara deru napas kecil itu yang sesak, bahkan sesekali suara batu terdengar samar seakan ditahan. Entah belajar dari siapa, tetapi sungguh perempuan itu benar-benar tidak menginginkan ini.

Apa hal bagus yang didapat saat menahan diri dan memendam sendiri? Ah, tentu saja ada untuk beberapa kasus. Namun, bukankah untuk beberapa hal juga perlu diungkapkan?

Seperti bekas luka yang ia temukan di bahu Dikta beberapa minggu belakangan.

"Dik," Mama memanggil, membuat kepala kecil yang tertunduk itu kini kembali terangkat. Mata bulat yang mewarisi mata Dikta itu menyorot lembut. "Kalau ada yang sakit bilang Mama, ya? Apa pun yang Dikta rasakan, marah, sedih, senang, ceritakan ke Mama."

"Kenapa?" tanya Dikta mengerjap polos.

"Karena itu wajar, Dikta." Perempuan itu mencubit hidung Dikta dengan gemas, berhasil membuat yang sudah terlihat merah kini semakin memerah. "Mama nggak ngerti kalau terus dipendam. Oh, ya, Dikta pernah kesal? Misalnya, kalau nonton kartun terus tiba-tiba udah selesai?"

Dikta mengangguk.

"Terus biasanya Dikta ngapain?"

"Diam." Kedua sudut bibir itu menurun. "Nungguin minggu depannya lagi."

"Dikta pernah sedih?"

Mata Dikta berbinar seketika, baru saja ingin menjawab tetapi niat itu mendadak diurungkan. Seperti ada yang menahan di dalam sana. Bahkan untuk mengungkapkan saja begitu kerepotan.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now