BAB 26 : HELLO, SORROW

96 10 3
                                    

Kenangan buruk itu tidak akan hilang dengan sendirinya. Ia akan diam, mengendap, lalu bangkit dengan memghadirkan kegelapan yang jauh lebih besar.

-Not House, but Home-

...

"Jadi, gue harus mulai darimana?" tanya Dinan, duduk beralaskan karpet biru ruangan musik sembari melipatkan kedua kaki.

Dikta yang berada di kursi sembari memangku gitar akustik itu, mengangkat kedua bahu. "Bebas."

"Lagu itu ...." Dinan menelan ludah, jari telunjuknya terangcung seakan mengutuki salah satu alat musik yang baru saja dimainkan. Sesak, Dikta dapat merasakan hanya dari dua kata yang terlontar dari Dinan. "Juga favorit bokap gue waktu dia selingkuh dari nyokap gue."

Petikan senar gitar terhenti sesaat. Mendengarnya, Dinan tersenyum samar. "Gue pikir bisa lupa. Ternyata gue salah ... semakin berusaha melupakan, malah makin teringat hingga sekarang."

"Perkenalan bokap dengan selingkuhannya, kecewanya nyokap gue, bahkan ...." Ucapan Dinan terhenti sesaat, tanpa sadar sebelah tangannya mencengkeram lutut dengan erat. Dingin, sama seperti hawa yang tercipta di ruangan ini.

Hanya ada jarak antar dirinya dengan Dikta. Jika itu dekat, maka hanya untuk memenangkan taruhan. Ya, siapa yang berhasil menyentuh luka yang disembunyikan dan keluar dari kegelapan.

Kembali menghadapi realita yang menakutkan.

"Bahkan?" ulang Dikta, mengangkat sebelah alis, mendengarkan dengan tenang.

"Gue terlalu banyak bicara," jawab Dinan, datar. Memandang wajah oval Dikta dengan geram. "Lo coba jebak gue supaya bisa menang dari taruhan?"

Dikta tertawa hambar. "Mungkin. Thanks udah cerita."

Dinan bangkit, menatap tajam. "Tepati janji lo."

"Jangan meremehkan gue," peringat Dikta, suara dentuman kecil terdengar ketika alat musik diletakkan disudut ruangan. Dikta merenggangkan tubuh, tetapi tetap sjaa tidak dapat menghilangkan rona kepucatan dari wajahnya tersebut. "Untuk lagu yang bakal dimainin, bakal gue bahas di grup chat entar."

"Bodoh, harusnya dia yang berterima kasih," umpat Dikta, bersandar di kursi belajar sembari menikmati pemandangan luar melalui jendela kamar. "Bukannya gue udah susah payah buat tenggelam di kehidupan dia?"

Nihil, ketenangan yang ia harapkan di sore ini seakan berbalik kenyataan. Mungkin benar, sekelilingnya yang hening membuatnya nyaman. Namun di sisi lain? Tidak, suasana seperti ini yang membunuhnya pelan-pelan, bergerak diam-diam.

"Dikta! Mama cantik pulang!"

Dikta, anak laki-laki berusia lima tahun itu memeluk kedua lutut dengan erat, matanya yang terlihat sembap ia pejamkan, berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun melihatnya.

Pintu kamar terbuka. Perempuan paruh baya dengan seragam formal itu seketika mengernyitkan dahi dengan heran, menatap suasana di sekeliling ruangan anaknya. Seperti tidak ada kehidupan, tirai kamar yang seingatnya tadi pagi dibuka kini tertutup rapat, bias cahaya menyinari beberapa sisi dinding.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now