BAB 46 : CHAT AT NIGHT

63 8 2
                                    

Tidak semua komunikasi dapat menyelesaikan masalah. Akan tetapi, bukankah drngan komunikasi kita dapat memahami sudut pandang satu sama lain?

Not House, but Home

...

Dikta terperangah, lalu mengangkat sebelah sudut bibir, sinis. "Lo pikir gue bakal beri izin? Jangan berharap."

Sudah Dinan duga, si keras Dikta tidak akan melakukannya. Perlahan Dinan mengepalkan tangan, menarik kursi plastik, mendekat ke arah Dikta. "Gue mau menyelesaikan masalah lo, bukan nambah masalah lo."

Dikta menggeleng pelan, ekspresi yang terlihat samar menunjukkan kesedihan. Mata itu berkaca, bukan berbinar senang melainkan sebaliknya. "Keluar, Din. Gue nggak mau jauh lebih lemah dari ini."

"Maksud?" tanya Dinan.

"Pergi," usir Dikta, nengembus napas panjang lalu tertunduk. "Buruan, sebelum gue marah."

Nihil, bukan menuruti, Dinan seakan menantang. Ia melipatkan kedua tangan, duduk dengan santai. "Silahkan. Seperti apa yang gue bilang, gue nggak bakal segan menghancurkan kenaifan lo, gue bakal hancurin senyum lo sampai menunjukkan sisi yang sebenarnya."

"Lo gila, Din," umpat Dinan.

"Ya, begitulah." Dinan mengangkat kedua bahu. "Biar apa lo menutupinya sampai sejauh ini? Biar dianggap baik dengan semua orang? atau lo mau diakui oleh semuanya? Teman-teman?"

Dikta menggeram, mata itu membulat. "Din, lo terlalu ikut ca--"

"Ah, mungkin lo punya alasan tersendiri." Dinan membalas bulat. "Tapi saat bersama gue, tolong tunjukkan semua sisi lo. Marah, sedih, sini! Biar gue yang hadapi! Seburuk apa pun lo, selemah apa pun, bahkan kehilangan arah sekalipun ... gue nggak bakal pergi!"

"Karena gue yang bakal pergi duluan?" tanya Dikta, hambar.

"Bukan." Oksigen dihirup begitu banyak, seakan memenuhi rongga dada keduanya yang terasa sesak. "Karena lo sebagian dari diri gue. Gue paham masalah lo, dan gue tau menyebalkannya menanggung semua itu sendirian. Jadi, tolong percayakan gue buat bantu lo."

Dikta membungkam, menggeleng pelan.

"Pikirkan diri lo sedikit saja sebelum orang lain. Berhenti terus-terusan terjebak dalam rasa bersalah. Jujur sama gue, lo pasti punya alasan tersendiri," tekan Dinan. "Bahkan ketika lo meminta mereka untuk tidak pisah waktu itu, wajar, Dik. Lo nggak mau kehilangan mereka, kan?"

Dikta mengangguk, memejamkan mata. "Tapi, gue salah. Itu nggak memperbaiki keadaan. Malah memperumit semuanya."

Dinan bangkit, mengacak rambut dengan gusar, berdiri menghadap jendela. "Boleh gue buka sedikit?"

"Silahkan," gumam Dikta.

"Setelah mereka pisah, nggak semua kerumitan itu hilang, Dik. Adakalanya, keadaan menjadi jauh lebih rumit ketika menyembuhkan diri," jelas Dinan, melihat pemandangan taman rumah sakit dari lantai atas. Kecil, terlihat begitu kecil. "Memang, apa yang lo harapkan kalau mereka pisah?"

"Mereka lebih bahagia, tanpa adanya pertengkaran satu sama lain. Mereka bisa jalani hidup masing-masing. Gue nggak mau lihat Mama sedih, begitu juga Papa."

"Lo mau bahagiakan keduanya?" tanya Dinan menoleh belakang.

Dikta mengangguk, tersenyum samar, memainkan sisi tepi selimut yang menyelimuti kaki.

"Apa reaksi lo seandainya gue bilang nggak bakal bisa?"

Dikta mengepalkan tangan dengan erat. "Bisa. Selagi gue nggak nyerah. Ah, seandainya juga gue dikasih waktu untuk hidup jauh lebih panjang."

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now