BAB 21 : TIRED ROBOT

131 9 5
                                    

Ia lelah, dan pada akhirnya mencoba menyerah . Namun, saat itu ia berpikir lagi, apakah menyerah hanya satu-satunya langkah yang ia punya?

-Not House, but Home-

...

"Jadi, lo tinggal sama Sam?"

Dinan hanya nenggumam sebagai tanda iya. Mata pelajaran Matematika berlangsung setengah jam yang lalu, kini hanya menyisakan Dinan dan Raya di baris bangku paling ujung.

Rin? Dikta? Jangan tanya, Dinan sebenarnya juga tidak cukup tau apa yang terjadi. Namun yang pasti, opsi kedua orang itu bolos tanpa permisi, sangat tidak mungkin.

Dikta yang bahkan tadi di bangku koridor memaksa untuk latihan band sepulang sekolah, tiba-tiba ditarik oleh perempuan paruh baya yang keluar dari ruang guru secara paksa. Heboh? Sangat, bahkan airpod dan musik yang Dinan dengarkan, tidak cukup meredam suaranya.

Rin? Ah. Dinan mengembus napas panjang, menopang kepala dengan sebelah tangan, memejamkan mata. Gadis itu mengikuti Dikta, membawa tas, tidak memberitahu hendak ke mana.

Dinan menelan ludah, berusaha menormalkan deru napasnya yang mendadak terengah, bahkan ujung jarinya mendingin sedari tadi. Sial, ingin rasanya ia memejamkan mata tetapi tidak ada pelindung dari dua orang di depan membuatnya mengurungkan niat.

"Dinan! Mama mau bicara sama kamu."

Dinan yang langsung bangkit saat memperhatikan perempuan paruh baya itu keluar dari ruangan, sontak menghentikan langkah. Perempuan dengan tas genggam putih itu memang tidak menghentikan fisiknya, melainkan perkataannya.

Mama? Oh, ayolah! Kenapa perempuan itu selalu bertindak seolah seperti mamanya?

Dinan membalikkan badan, tersenyum miring. "Mamaku cuma satu, mengerti?"

"Oke." Perempuan itu mengangguk maklum, mengangkat sebelah tangan seakan memberi tanda untuk tidak berdebat. "Ada yang perlu kita bicarakan."

"Aku mendapat peringatan karena membuat keributan di kelas?" tanya Dinan mengamgkat sebelah alis. "Tidak perlu dijelaskan. Perbuatan seperti itu tidak akan kuulangi."

"Dengarkan dulu." Kini sebelah tangan Dinan benar-benar ditahan, refleks membuat Dinan menepisnya dengan kasar. "Ini masalah yang lebih dari itu. Berteman, Dinan. Guru di sini cemas sama kondisi kamu. Di kelas, jam istirahat, bahkan saat tugas kelompok juga--"

"Pada akhirnya aku yang harus bertanggung jawab atas kecemasan mereka?" tanya Dinan, mengangkat sebelah alis. "Tidak akan. Kalian cemas, tapi aku nyaman dengan situasi yang kuciptakan. Seandainya memang sulit, lebih baik kalian lupakan saja. Anggap aku tidak pernah ada."

"Dinan, bukan begi--"

"Dinangga Atma!"

Raya yang tadi menelungkupkan wajah untuk tertidur, sontak mengangkat kepala. Suara tinggi dengan nada membentak dari guru tersebut memanggil berulang kali tanpa jeda. Dinan, Raya menoleh, raga cowok itu seperti ada tetapi nyawanya entah melayang ke mana. Pandangannya menerawang, kedua alisnya terangkat, begitu juga dengan sebelah tangan yang terkepal erat.

Ah, Dinan terlihat seperti mayat hidup di mata Raya sekarang.

"Din ...." Raya mendekat, berusaha mengguncang tubuh tegap itu. Nihil, belum sempat melakukan, spidol sudah melayang terlebih dahulu, membentur meja Dinan dengan kuat, berhasil membuat cowok berjaket biru itu  tersentak.

Dinan menoleh, berusaha sebisa mungkin terlihat tenang.

"Siapa yang suruh kamu melamun di kelas saya! Kerjakan soal di depan!"

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang