BAB 27 : SORROW

82 12 0
                                    

Aku kehilangan suara namun tidak keributan
Aku kehilangan akal namun tidak dengan hati yang terluka

-Not House, but Home-

...

"Menang lagi ahaha!"

Suara gelak tawa terdengar dari anak berusia lima tahun terdengar, ia meletakkan joystick yang tadi berada di genggaman kini ke atas lantai. Perlahan Dinan menoleh, mata bundar itu memerhatikan perempuan paruh baya di balik ambang pintu dapur.

Mama. Perempuan itu masih berkutat dengan pring cuciannya. Tidak kunjung selesai selama setengah jam yang lalu, keran air masih saja terbuka mengalir melalui telapak tangan yang terbuka itu.

"Ma?"

Perempuan paruh baya itu tersentak, begitu Dinan menarik ujung bajunya. Wajah bundar itu mendongak, memerhatikan Mama dengan wajah polosnya. "Mama melamun lagi."

"Ah!" Perempuan itu tertawa pelan, raut wajah lembut bersamaan dengan pandangan teduh itu benar-benar menurun pada seorang Dinan tanpa dapat disangkal lagi.

Dinan tertunduk, begitu telapak tangan basah Mama mengacak rambutnya. "Mama enggak melamun, Mama lagi nyuci piring."

Dinan menggerutu. "Dari tadi Mama cuci piring."

"Kamunya yang enggak sabaran," sanggah Mama menatap jail, lalu merunduk, memposisikan tubuhnya setinggi Dinan. "Dinan lapar? Mau Mama buatin cemilan malam lagi?"

Dinan menggeleng, menatap sayu. "Dinan mau Mama ikutan main juga. Enggak enak sendirian. Papa juga belum pulang kerja sampai sekarang."

"Iya, iya." Mata bundar Dinan terpejam seketika begitu kedua tangan Mama menangkup wajahnya  lalu mendaratkan ciuman tepat di dahi. Perempuan itu menyengir, lalu kembali menyelesaikan kembali pekerjaan yang sempat tertunda. "Dinan tunggu di ruang tengah ya, nanti setelah selesai, Mama main, oke?"

Dan hingga silih hari berganti, minggu, bulan terus berlalu. Malam yang awalnya terasa hangat karena kehadiran Papa dan Mama, kini sirna.

Tak ada malam hangat yang dipenuhi gelak tawa, tak ada malam yang dipenuhi dengan komunikasi dan  tak ada kejailan-kejailan yang membuat semakin memperat keluarga kecil tersebut.

Semuanya berganti, seakan berbanding terbalik. Dulunya Papa yang hanya sibuk bekerja dengan urusan perusahaan kini ditambah juga dengan Mama. Meskipun  profesi keduanya berbeda tetapi selalu sibuk dengan rutinitasnya.

Gelak tawa dan obrolan yang hangat kini digantikan oleh suasana pertengkaran yang menimbulkan suasana dingin tiada habisnya. Suara bantingan barang, teriakan antar satu sama lain yang membentak kini sudah menjadi pemandangan buruk yang tidak dapat dialihkan.

Bahkan hingga akhirnya kedua orang itu berpisah, tidak juga dapat mengubah keadaan. Mama yang awalnya selalu berbicara hangat dan melontarkan senyum padanya kini begitu sulit dilihat, raut wajah kaku dan keluhan yang tiada habisnya malah menjadi percakapan sehari-hari yang diterima oleh Dinan.

Ya, tentu saja, akan menjadi sebaliknya bila ia juga ingin berbagi cerita. Bukannya bentuk dari pengertian dan belajar mencoba memahami, melainkan mendapat penolakan.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now