BAB 37 : STORY PART OF ADIKTA PRIMA - PUNISHMENT

56 7 0
                                    

Sulit dipercaya, bagi beberapa orang, hukuman adalah pembebasan dari rasa bersalah yang sesungguhnya.

Not House, but Home

...

"Ma, dengarkan Dikta. Bukan itu maksud Dikta, Ma!"

Tanpa membalas jawaban anaknya, perempuan paruh baya itu menutup pintu mobil dengan kuat, masuk ke rumah. Mendapat panggilan dari sekolah secara tiba-tiba jelas mengejutkan untuknya. Ah, terlebih lagi masalah yang dihadapi.

Adikta Prima, anaknya itu baru saja memukul seseorang, hm?

"Ma ...." Dikta yang berjalan mengekori dengan cepat, kini meraih pergelangan tangan Mama, berharap agar perempuan itu menghentikan langkah, mendengar penjelasannya. "Tolong dengarkan Dikta dulu."

"Tolong ambilkan Mama air, Dik."

Dikta terdiam sesaat, lalu mengangguk, melepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Mama. Ia mengambil sebotol air dari kulkas lalu meletakkan gelas ke meja ruang tengah, menuangkannya.

"Ini, Ma," sodor Dikta, kepada perempuan yang sedari tadi duduk di sofa. Tanpa bicara, perempuan itu meneguk air mineralnya. Tidak cukup sekali, melainkan berulang kali hingga amarahnya mereda, begitu juga kepanikan dan kekecewaannya memudar.

"Silahkan cerita."

Dikta yang sedari tertunduk, kini mengangkat kepala, mencengkeram sudut bantal sofa dengan erat.

"Waktu Dikta patroli wilayah kelas satu, dia rundung Rin, Ma," jelas Dikta, menatap wajah Mama, berharap tidak melihat raut kecewa di sana. "Bukan sekali, dua kali, tapi sering. Mama lihat? Tanah? Beberapa bekas noda sampah makanan sama minuman yang ada di baju Rin? Itu dia yang lakukan, Ma."

"Masalahnya memang kecil tapi saat dia lakukan perundungan ke Rin apa bisa itu membenarkan? Rin sama sekali nggak salah, Ma. Rin buat tugas sekolah lalu menyerahkannya, sementara anak-anak lain? Beberapa dari mereka bahkan ngancam yang membuat untuk berbohong ke guru dengan bilang tidak ada tugas."

Tidak ada jawaban dari Mama, perempuan paruh baya itu menatap lurus, lalu mengembus napas berat.

"Bukan cuma itu, dia juga nampar Rin." Kedua alis Dikta terangkat. Lagi-lagi, untuk ke sekian kali, betapa sedikitnya ia dapat menarik oksigen di sekeliling. Sesak, baik dada maupun kepalanya terasa penuh dan memberat.

"Awalnya Dikta cukup mau buat laporan sama bukti. Tapi, Dikta nggak bisa. Waktu lihat bekas tamparan itu, ada yang aneh. Gelap, Dikta nggak bisa lihat sekeliling dan cuma fokus dengan kegelapan itu. Rasanya menyedihkan, semakin penuh dengan kegagalan, tapi juga ada rasa puas ketika bisa membalas perbuatannya," gumam Dikta, tertunduk. "Meskipun rasa puasnya cuma sementara. Jauh lebih banyak rasa menyesal seperti sekarang."

Perempuan itu mengembus napas panjang, memejamkan mata sejenak. "Dik, menurut kamu kenapa Rin nggak mau membalasnya?"

"Dalam kondisi seperti itu ...." Kepalan tangan Dikta bergetar, Dikta tersenyum samar. "Mana mungkin bisa, kan?"

"Salah." Mama menyandarkan tubuh di sisi sofa, menoleh ke arah anaknya sejenak. "Setelah Mama lihat, Rin bisa. Dia bukan orang lemah yang menerima segalanya. Dia melawan tapi bukan seperti itu caranya."

Kedua alis Dikta terangkat, menelan ludah, menahan kedua matanya yang hampir sembap. "Bisa?"

"Ya, bisa." Perempuan itu mengangguk. "Sekarang, Mama mau tanya, apa bedanya Dikta sama anak yang rundung Rin?"

"Jelas, beda." Dikta mencengkeram lutut dengan erat. Setiap ujung jarinya mendingin sesaat. "Dikta berusaha melindungi Rin. Selain itu, supaya tidak ada kesalahan yang sama. Kalau Dikta biarkan, dia bisa saja janji tidak lakukan lagi ke Rin, tapi bisa saja dia melakukannya ke orang lain."

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now