BAB 44 : IF THERE WAS PRACTICE IN LOVE

61 8 1
                                    

Jika saja ada kata latihan dalam cinta, akankah kesalahan ini dapat dihindarkan?

Not House, but Home

...

"Jadi kita bakal mainin lagu apa?" tanya Raya.

Bungkam, tidak ada jawaban. Sampai akhirnya ia memperhatikan Dikta dan hanya menjawab dengan lirikan yang tertuju pada Dinan, sedang mencengkeram mic dengan erat.

"Din?" panggil Raya, hati-hati. Berharap agar cowok yang sedang menahan diri itu tidak meluapkan emosi kepadanya seperti kemarin.

Dinan yang menatap lurus, mendekati bibir mic. "Sam tau lagunya."

"Gue?" Sam yang memutar stik drum dengan semangat terhenti sesaat, cengo. "Hah? Kenapa gue!"

"Lim Jae Hyun, If There was Practice in Love?" tanya Rin, disambut anggukan pelan oleh Dinan.

Dikta yang membenarkan senar, terlonjak sesaat. Memperhatikan sekeliling dengan tidak percaya. "Lo yakin? Sampai memang? Itu reff-nya tinggi, woi! Tenggorokan gue aja kagak sanggup ulang lebih dari tiga kali!"

"Entahlah," jawab Dinan, menenangkan diri. "Kita bisa coba."

***

Jika saja ada kata latihan dalam cinta, akankah kita berbeda?

Waktu begitu juga tempat aku menemuimu

Jika semuanya berbeda, apakah kita dipersatukan?

Mengapa begini, di saat aku belum dewasa?

Mengapa saat itu begitu indah?

Mengapa orang sepertimu bertemu dengan orang sepertiku?

Memberikan kasih sayang yang berlimpah.

Suara dentingan keyboard memenuhi acara, bukan hanya itu pukulan drum mengikuti nada, begitu juga dengan gitar dan bass. Dinan memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.

Sesak. Dadanya mulai terasa sesak sekarang.

Jika aku meminta kembali ke masa itu ....

Apakah terdengar gila?

Aku ingin menjadi lebih baik dan tidak membuatmu menangis.

Aku yakin, tapi terdengar tidak masuk akal?

Aku menyadarinya, setelah waktu berlalu ....

Bagaimana cara menyayangi tanpa membuatmu menangis?

Dikta menunduk, fokus pada permainannya. Baiklah, sekarang ia tahu, mengapa Dinan selalu menyanyikan setiap lagu tanpa ekspresi maupun semangat sama sekali. Gampang. Jawabannya adalah tangan itu. Perlahan kedua sudut bibir Dikta terangkat, begitu juga Rin, Raya, dan Sam yang memperhatikan si vokalis.

Ah, akhirnya si kepala batu Dinan meluapkan dan berbicara dengan cara seperti ini, hm?

Nada tinggi yang awalnya tidak siapa pun mengira dapat Dinan lakukan, pada akhirnya tergolong mudah. Cowok itu hanyut dalam emosi dengan cepat, tanpa harus membuat-buat ekspresinya.

Natural, semuanya terasa mengalir begitu saja.

Apakah kau bahagia?

Sekarang ada orang lain di sisimu.

Sok kuat, keras kepala, menyebalkan.

Sam tersenyum tipis, memperhatikan. Jika saja ia berada di bangku penonton sekarang pasti sudah dapat Sam pastikan ia melihat hidung maupun mata Dinan yang sebentar lagi berair. Ah, adiknya itu ... kenapa penuh penghayatan di saat acara yang harusnya menyenangkan seperti ini?

Aku bisa menjadi lebih baik lagi, dan takkan membuatmu menangis

Aku yakin, tapi terdengar tidak masuk akal

Aku menyadari setelah semuanya berlalu.

Bagaimana cara menyayangi tanpa membuatmu menangis?

Mengapa waktu tak menungguku dewasa dan berlalu begitu saja ....

***

Jika saja bukan seperti ini situasinya, mungkin Sam dengan tidak segan akan mengganggu Dinan. Benar seperti apa dugaan, bahkan setelah musik berhenti, Dinan turun dengan cepat untuk menenangkan diri.

Dinan tertawa pelan, setengah mengutuki napasnya yang masih terasa sesak. "Kenapa gue bisa kayak gini, hm?" tanya Dinan sekana berbicara dengan diri sendiri sesekali ia melihat si pemilik pesta di celah Sam, Raya dan Dikta yang menutupi pemandangannya.

"Lo kerja bagus hari ini," ucap Raya menepuk bahu Dinan dengan kuat. "Jauh lebih bagus dari waktu latihan."

"Apa mending lain kali kita nggak perlu latihan?" celetuk Dikta, hambar.

Keempatnya tertawa, sembari menepuk punggung Dinan dengan pelan. Dinan berusaha ikut tertawa, lalu mencengkeram buket bunga yang tadi diletakkan di meja.

"Kamu udah tenang?" tanya Rin, merunduk. Menyamakan posisi Dinan yang masih duduk.

Dinan mengangguk, meneguk sebotol mineral sejenak, memulihkan tenaga. "Ayo."

Kelimanya mengantri, satu deretan panjang untuk tamu yang begitu banyak. Ah, tidak hanya itu, belum lagi sesi berfoto yang memakan waktu tiga hingga lima menit.

"Dinan," panggil perempuan bergaun pernikahan putih. Rambut yang senantiasa diikat cepol kini dibiarkan tergerai ikal, memperlihatkan warna kecokelatan gelapnya yang natural. Dinan tidak bersuara, hanya memperhatikan dengan seksama ketika keduanya saling berhadapan. Baru Dinan sadari selama ini sorot pandangnya diwarisi oleh seseorang.

Mama yang terlihat tegas, tetapi ada rasa kesepian bila melihatnya jauh lebih dalam.

"Kamu ke sini sama Papa?"

"Teman-temanku," jawab Dinan menoleh kiri. Dikta, Rin, Raya memperkenalkan diri. Begitu juga Sam setelah disikut oleh Dikta dengan kuat ketika masih saja terperangah memperhatikan si pemilik pesta.

"Sam, Tante."

Perempuan itu mengangguk, tersenyum lembut. "Tolong jaga Dinan, ya."

"Untuk Mama." Sebuket bunga disodorkan. Anyelir merah yang begitu banyak. Perempuan itu menunduk, lalu memperhatikan Dinan yang memalingkan wajah sejenak, tampak canggung. "Selamat atas pernikahannya."

"Makasih Dinan." Kedua tangan itu merangkul Dinan dengan cepat, membawanya ke dekapan. Dinan tersentak seketika. "Maaf, Mama belum bisa beri yang terbaik untuk kamu."

"Harusnya aku yang bilang gitu." Dinan tertawa hambar, menjauhkan benaman wajah itu dari bahunya. "Temukan kebahagiaan Mama."

"Kamu juga Dinan."

Dinan mengangguk pelan, tersenyum. Lalu memberi uluran tangan pada pria di sebelah. Perawakan yang jelas berbeda dari Papa, terlihat jauh lebih canggung dan pendiam, tetapi seakan menjaga Mama dibalik tingkahnya. Ah, orang berada di toko kue kemarin. Sesuai dugaannya.

Pria itu membalas jabatan tangan, membuat Dinan refleks mencengkeramnya dengan erat, sembari membulatkan mata, setengah mengancam.

"Tolong jaga Mama, paham?"

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now