BAB 19 : SOMEONE WHO NEED OTHER PEOPLE

81 11 8
                                    

Sulit dipahami, adakalanya ingin sendiri tetapi tidak merasa sepi.

-Not House, but Home-

...

"Kepala lo dibuat dari batu apa, dah?"

Raya tak hentinya mengutuk, sembari menopang sebelah lengan Dikta ke bahu. Keduanya menuruni tangga dengan pelan meski sesekali harus berhenti. Dikta tertawa pelan, setengah memejamkan mata, berjalan. "Batu akik, lumayan kalau dijual."

Raya mendesis, ingin saja menjitak kepala Dikta dengan kuat, bahkan di saat seperti ini masih sempatnya bercanda. Lihat saja, Raya sendiri tidak yakin cowok itu akan bisa menuju ruang kesehatan tanpa bantuannya. "Sok-sokan selesaikan masalah gue, padahal kondisi lo juga lagi kayak gini. Kenapa nggak bilang daritadi?"

Dikta membungkam, berbelok arah.

"Sesekali utamakan diri lo, Dik. Nggak ada yang salah." Merasa tidak ada jawaban, Raya mendelik. "Dengar nggak lo?"

"Berisik kayak nenek gue," gumam Dikta pelan, sempat didengar oleh Raya. "Lo nggak tau aja apa yang bisa ditimbulkan saat utamakan diri gue."

Raya mengernyitkan dahi, kembali menuntun Dikta yang sempat berhenti dan bersandar di tiang koridor kelas. "Apa?"

Yang pasti bukan hal baik. Ingin rasanya Dikta mengatakan tetapi seperti biasa, kepalanya seakan refleks ingin mengatakan hal sebaliknya. "Entar gue terkenal. Lihat? Gue gini aja, satu angkatan nggak ada yang nggak kenal."

"Sombong lo, Curut," gerutu Raya, Dikta tertawa pelan. Kini langkah itu terhenti tepat di sebuah pintu cokelat yang tertutup rapat. "Dah sampai, buruan lepasin sepatu lo."

Dikta menurut saja, menopang tubuh dengan bersandar di dinding. Menyebalkan, kenapa beberapa minggu belakangan tubuh ini sulit untuk diajak kerja sama?

Sepatu diletak ke rak asal. Belum sempat Raya mengekori, sesaat memandang tak asing pada sepatu seseorang. Hanya ada satu orang yang memiliki sepatu hitam dengan model unik tersebut. Mungkin logonya sudah tidak asing lagi, tetapi siapa sangka kalau ini yang asli?

"Dik, lo nggak apa-apa di ruangan sendiri?"

Dikta yang memilih brangkar terdekat, kini mengangguk pelan. Kedua dari sisi kanan brangkar yang sepertinya sudah dihuni oleh seseorang. Buktinya saja tirai pembatas yang biasanya disingkapkan, kini tertutup panjang membentuk ruangan.

"Lo bawa ponsel? Kalau butuh sesuatu, kirim pesan ke gue."

"Iya, iya, sana pergi lo," ucap Dikta mulai risih. Kedua sudut bibir yang selalu terangkat itu kini menurun, wajah yang tampak kelelahan sama seperti rambutnya yang terlihat berantakkan.

"Oke, gue ke kelas dulu." Pintu ruang ditutup pelan, menghasilkan deritan kecil. Dikta mengembus napas panjang, menyingkap tirai di sisi kiri agar dapat menarik hingga melingkari brangkar. Nihil, padahal ia ingin langsung berbaring jika sudah selesai, tetapi siapa sangka bahwa akhirnya seperti ini?

"Eh?" Dikta membungkuk, meraih botol putih yang menggelinding menyentuh ujung kaki. Tulisan yang sudah pastikan sulit untuk orang awam membaca, paling-paling hanya aturan pakai dan tanggal pengambilan. Baru beberapa minggu yang lalu, huh?

Milik orang sebelah. Dikta mencengkram tirai dengan erat sembari menimang botol tersebut dengan sebelah tangan. Haruskah ia memberinya sekarang? Ah, sepertinya harus. Bagaimana juga, setelah ini ia ingin beristirahat dengan tenang, tanpa menunggu kapan orang sebelah bangun dan keluar dari ruangan.

"Permisi, sorry kalau gue gang--"

Dikta menahan napas sesaat. Oksigen yang jelas sulit ia raih kini seakan menipis dan sepertinya mulai langka. Dinan. Dikta mempererat cengkraman tirai pembatas, mungkin akan ada beberapa lipatan kusut yang terlihat saat nanti ia melepasnya.

"Maaf ... Dinan bakal nurutin Mama."

Suara gumaman terdengar lirih. Wajah yang selalu terlihat tenang bahkan tidak peduli dengan sekeliling itu kini sebaliknya. Dahi itu mengernyit, tertidur meringkuk, menikmati mimpi yang tidak diharapkan oleh si pemilik.

"Maaf ...."

Dikta menelan ludah, menunduk sejenak begitu rasa tidak nyaman muncul entah dari mana. Dinan sedang tidak berbicara padanya bahkan berbuat apa-apa, cowok itu selalu sendiri bersama dunianya, dan Dikta tidak tahu kenapa bisa?

Tidak, ia harus fokus. Bagaimana juga Diktalah yang harus menarik Dinan ke dunianya, memberi sedikit pelajaran agar tidak melakukan kebodohan yang jauh lebih parah. Tapi jika dalam keadaan seperti ini? Ah, bukan hanya tubuh ini, tetapi juga kondisi di luar itu, apa mungkin ia bisa mengalahkan Dinan?

"Gue harap lo nggak melakukan hal-hal bodoh, Din," gumam Dikta meletakkan botol putih ke meja kecil lalu menyibakkan tirai, berbaring.

Langit ruangan yang putih, bau khas obat-obatan meskipun tersimpan rapi di lemari. Dikta mengembus napas panjang, memejamkan mata, mengisi energi tubuh yang perlahan mulai melemas.

"Sesekali utamakan diri lo, Dik. Nggak ada yang salah."

"Ada. Keegoisan gue, merugikan banyak orang," gumam Dikta, tersenyum samar. Suara dengkuran dari samping terdengar. Meskipun tidak begitu jelas tetapi ia sedikit lega mengetahui Dinan kembali lelap dalam istirahatnya. Tenang, damai ....

Bibir bawah itu bergetar, secepat mungkin ia menyeka sebelah sudut mata dan tersentak saat buliran cairan bening membasahi punggung tangannya.

"Bodoh," kutuk Dikta pada diri sendiri. Ia memiringkan badan, meringkuk untuk mengurangi rasa sakit yang bahkan Dikta sendiri tahu berasal dari bagian mana. Tawanya terdengar hambar, tanpa nada.

"Gue mikir apaan, dah. Hahaha ...."

___

Thanks for reading! I hope you enjoy it! 

up : 30 Oktober 2021

Vote, komen, dan krisarnya sangat membantu. 

Ada yang pernah nonton anime Fruits Basket?

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now