BAB 4 : CHILD - ERROR

175 20 3
                                    

Melepaskan memang menyakitkan, tetapi kadang kala melepaskan merupakan cara terbaik dibanding mempertahankan segala sesuatu yang ada.

‐Not House, but Home-

...

Selain mendengarkan, Dinan pikir ada cara lain untuk mengerti luka seseorang tanpa menunggu lawan bicara terbuka terlebih dahulu. Mengalami rasa sakit yang sama mungkin?

Ya, dengan mengalami rasa sakit yang sama atau lebih dari itu, maka seseorang memiliki kepekaan yang begitu kuat. Insting seakan berjalan cepat dan tidak ingin orang tersebut mengalami kesakitan yang jauh lebih parah ke depannya.

Jika saja boleh meminta dan permintaan itu terjamin akan dikabulkan. Maka, dengan tidak segan Dinan akan meminta untuk menghapus kembali awal kejadian saat menuju kelas.

Menenteng beberapa seragam dan buku, lalu tidak sengaja bertemu dengan seorang gadis, dan yah ... terlibat beberapa hal yang bahkan Dinan sendiri tidak menyangka akan melanggar janji untuk tidak peduli pada siapa pun malah seperti ini.

Rin dengan seragam yang basah, lalu menangkap luka goresan di bagian lengan dengan jelas, serta ....

"Argh!" Dinan mengacak rambut dengan kesal, menatap lapangan sekolah dari koridor kelas tingkat tiga. Kenapa ia harus mengetahui banyak fakta tentang gadis itu? Mulai dari siapa pacarnya hingga keluarganya?

Apa tidak boleh, ia tenang seperti di sekolah lama? Ya, meskipun tidak tenang juga sepertinya.

"Yash! Dinan!"

Sebuah tepukan mendarat di bahu kanan. Refleks saja Dinan menepis dengan kasar, membuat si penepuk terdiam seketika, lalu tertawa terbahak.

Dinan menatap dingin, memperhatikan papan nama yang tertera pada seragam putih di balik jaket merah maroon itu. Adikta Prima. Ah, si berisik ini.

"Lagi lihatin apa lo?" tanya Dikta, mencondongkan tubuh pada dinding pembatas. Lapangan tampak terik, beberapa murid dari ekskul basket mengadakan pertandingan saat jam istirahat berlangsung. "Ah, anak basket ternyata." 

Dinan bungkam, enggan menjelaskan. Padahal sudah jelas bukan sekelompok murid yang merebut bola oranye, melainkan seorang gadis yang jelas terlihat sendiri di antara keramaian penonton. Saat beberapa penonton bersorak riang dan ada sebagian yang kecewa, tetapi tidak dengan gadis itu. 

Hanya diam, seakan terasingkan.

Arinka Putri. Kenapa pandangannya sedari awal hanya dapat berfokus pada gadis itu? 

Apa mungkin .... 

"Bodoh, mana mungkin," gumam Dinan tanpa sadar, berhasil membuat Dikta yang setengah memukul dinding pembatas ketika pemain basket kelas tiga gagal menembak bola ke dalam ring, kini menoleh sesaat, mengernyitkan dahi dengan heran.

Dinan menggeleng pelan. Ia mencintai Rin? Jelas tidak, selain tidak percaya adanya pandangan pertama, Dinan juga tidak percaya adanya cinta. Pasti ada hal lain yang membuat robot sepertinya ingin melibatkan diri dari kehidupan gadis itu. Sedikit saja. 

"Lo mau ikut ekskul basket?" tanya Dikta, mata bulatnya mengerjap polos. "Nggak mustahil kali buat lo. Nih, ya. Meskipun kita kelas tiga, tapi sekolah nggak ada larangan kayak gitu, yah ... kecuali jabatan, misalnya lo ambis jadi kapten basket atau ketua OSIS, jelas harus undurkan diri."

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang