BAB 9 : FORTUNATELY, I HAVE YOU

122 13 2
                                    

Tidak perlu banyak kata, apa pun yang terjadi, kamu berhak untuk dicintai.

-Not House, but Home-

...

Kendaraan roda dua terhenti, tepat di depan rumah bernuansa abu. Terlihat sederhana, sama seperti penghuninya. Rin turun dari kendaraan, kedua sudut bibir gadis itu terangkat, memperhatikan seseorang yang sudah berbaik hati untuk tidak membiarkannya berkendara di malam hari.

"Makasih, Dinan."

Dinan tersenyum samar, mengangguk. Memperhatikan punggung kecil yang menggeser pagar rumah, sendiri. "Rin ...."

Rin menoleh belakang, mengangkat kedua alis. "Ya?"

"Lo sendiri di rumah?" tanya Dinan memperhatikan sekeliling, tampak gelap dengan lampu rumah yang belum dinyalakan. "Mau gue temanin sampai tante lo datang?"

Tentu saja gadis itu tidak akan menolaknya. Dinan memejamkan mata, duduk di halaman berkeramik hitam. Dipeluknya kedua lutut sembari memperhatikan langit kelam dihiasi bintang. Terlihat indah, tetapi mengingat akhir dari bintang yang meledak membuat Dinan urung untuk mengaguminya.

"Untuk kamu." Minuman dan sepiring cake disodorkan. Rin menuangkan teh ke gelas, berhasil membuat uap panasnya menyentuh permukaan pori Dinan. "Kamu ada ma--"

"Tolong jangan beritahu siapa pun tentang pertemuan kita tadi," potong Dinan, menatap tajam. Nihil, seberusaha apa pun tatapan tajam yang Dinan sorotkan, hanya emosi kesedihan yang Rin rasakan.

Sama seperti saat ia menghadapi Sam beberapa bulan belakangan. Hanya saja, hawa gelap yang Dinan miliki begitu pekat hingga menyakiti siapa pun yang melihatnya. Untuk kesekian kali ingin rasanya Rin bertanya kepada Mama, mungkinkah ini alasan Mama memutuskan untuk hidup bersama Papa?

Entahlah. Rin bingung, entah sebuah keputusan baik atau tidak untuk Mama memilih Papa sebagai pasangan hidupnya.

Hening sejenak, Rin menggigit bawah bibir sebelum memutuskan untuk berbicara. "Kamu sepertinya ada banyak masalah."

Tanpa menoleh, Dinan menatap lurus. Rerumputan halaman rumah hampir panjang, bukankah sudah saatnya untuk dipangkas? "Bukan masalah besar, gue cuma butuh saran buat menemukan solusinya," elak Dinan. "Lo sendiri juga terlihat ada banyak masalah."

"Ah." Rin tertunduk, tersenyum samar. "Aku cuma ngunjungi Tante tadi."

Dinan mengangguk pelan, berusaha memahami. Namun nihil, seberapa beratnya ia berusaha memahami, malah sebaliknya. Ada ketakutan, begitu juga seperti terjatuh di lubang kegelapan yang semakin dalam.

"Lengan lo mengatakan sebaliknya." Dinan tersenyum sinis. Buru-buru gadis itu menurunkan lengan sweater  tapi terlambat, Dinan terlebih dahulu melihatnya. "Kalau lo penasaran sama apa masalah gue, maka lo jadi sumber masalahnya."

"Aku?"

Dinan mengangguk, memperhatikan mata bulat Rin tanpa ragu. "Waktu pertama ketemu lo, gue nggak tau kenapa gue harus peduli. Tubuh gue refleks nyodorin bantuan, sampai akhirnya gue lihat lengan lo, memahami bacaan-bacaan favorit lo, dan di sana akhirnya gue bisa memutuskan ...."

Rin terdiam.

"Lo berbahaya buat gue," tekan Dinan, menelan ludah begitu tenggorokannya seakan tercekat. "Lebih tepatnya, lo penarik tuas pada bom yang ada di dalam tubuh gue."

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now