BAB 11 : SQUARE DAN MANTAN VOKALIS

94 14 7
                                    

Apa pun keputusan yang diambil akan selalu terdengar egois. Tidak peduli berasal dari siapa, demi kebaikan ataukah tidak, tetapi yang pasti setiap orang memiliki sisi keegoisan masing-masing.  

-Not House, but Home- 

...

Dinan tidak ingat, mulai dari kapan ia memilih untuk menutup mata dan telinga rapat-rapat dari orang sekitar. Tiga tahun yang lalu? atau lima tahun yang lalu mungkin? Entahlah, ia tidak ingat. Namun yang pasti, jelas melekat diingatan Dinan ketika pertemuan sesi foto keluarga terakhir kalinya untuk majalah bisnis yang menyorot Papa sebagai objeknya. 

Untuk pertama kalinya ia memberanikan diri untuk memasang ekspresi tidak menyenangkan dengan kedua sudut bibir yang menurun. Manja, sombong, dan angkuh? Terserah, Dinan tidak peduli dengan bisikan miring dari para peliput hingga membuat Papa tidak enak hati dan memberi macam alasan untuk menutupi jati diri.  

"Seimbang," gumam Dinan memperhatikan hasil nilai ulangan di papan mading lantai dasar. Tidak seperti nilai musiknya yang selisih satu angka di bawah Dikta. Kini, mulai pelajaran tiga bahasa asing hingga antropologinya berhasil menyeimbangi cowok itu. Sembilan puluh delapan, huh?

"Buruan masuk." Salah satu airpod yang menggantung di telinga, terlepas. Dikta, cowok berwajah oval kepucatan itu membalikkan badan, sembari melepaskan sepatu hitam bertalinya. "Latihan."

Dinan mengembus napas panjang, mengikuti setengah hati. Sungguh, ia sendiri tidak tahu apa manfaat masuk ke sini.

"Jadi, lo lebih sering nyanyi lagu apa?"

Baik Dikta, maupun Raya dan Rin yang berada di ruangan kini mempersiapkan alat. Dikta menyodorkan mic setelah meletakkan tiangnya ke hadapan Dinan.

"My First Story yang judulnya Home?"

"Gue nggak bisa," jawab Dinan hanya menatap mic di hadapan, tanpa berminat menyentuhnya.

"Lo bisa nyanyi, gue udah lihat penampilan lo kemarin," tekan Dikta. Jika Dinan keras kepala, tentu saja ia juga bisa menyamainya. "Gimana kalau lagu yang lo bawa pas pengambilan nilai?"

Nyaris saja Dinan mendesis jika saja Dikta tidak mendapatkan bulatan mata dari Raya terlebih dahulu. Bagaimana juga, lagu itu terlalu asing dan hanya didengarkan sekali.

Dikta mengembus napas panjang, mengatur senar gitarnya. Kali ini gitar akustik. "Suara lo cocok lagu mellow. Gimana kalau yang ini?"

Dikta tersenyum puas sembari mengeluarkan sebelah airpod di saku jaket. Sungguh! Dinan sendiri baru sadar kalau ia belum mengambilnya secara paksa. "Gathering My Tears, Seo Ji Won, gimana?"

Lagu semalam. Dinan menahan napas sejenak, memperhatikan Dikta dengan tajam. Ucapan ketika jam istirahat tadi sepertinya benar. Dikta yang akan menghancurkannya dari dalam atau sebaliknya.

"Kenapa?" Dikta mengangkat sebelah alis. "Lo takut?"

"Enggak akan," balas Dinan, menyeret kursi lalu membenarkan tinggi tiang mic. "Silahkan."

"Ray, Rin." Dikta menoleh belakang, senyuman dan binaran mata puas tercetak dengan jelas. "Masih ingat lagunya?"

Rin yang berhadapan dengan keyboard-nya tersenyum, begitu juga Raya mencengkram bass-nya, mengangguk.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now