BAB 17 : ESAI KEHIDUPAN NORMAL

77 8 2
                                    

Kehidupan normal seperti apa yang diinginkan? Akankah kehidupan normal setiap orang sama atau mungkin berbeda?

-Not House, but Home-

...

Tidak dapat dipungkiri, setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Begitu juga Dinan, tidak peduli seberapa kerasnya ia berusaha untuk mendapatkan nilai baik di segala bidang, tetapi tetap saja kenyataan seakan menamparnya bahwa ada hal mendasar yang sulit ia lakukan sekalipun sudah berusaha keras. 

Ya, contohnya seperti pelajaran Bahasa Indonesia ini. 

Cowok dengan potongan rambut bowl fringe itu mengembus napas panjang, sesekali mengetuk meja dengan pena hitam di tangan. Tidak hanya ia, tetapi Dikta yang berada di bangku depan sepertinya bernasib sama. PR esai tentang kehidupan yang diinginkan setiap siswa. Padahal esai yang diminta hanya setengah lembar kertas, tetapi mengapa begitu sulit menuliskannya?

"Din ...." Dikta menoleh belakang, memelas. "Udah ngerjain?"

"Menurut lo?" tanya Dinan balik, mengangkat sebelah alis. 

"Tau gini, gue mending lihat Rin, dah," gerutu Dikta, menyambar buku tulis di laci meja Rin dan nihil, bukan buku yang ia cari melainkan lirik lagu beserta kunci. "Masih ada setengah jam lagi, sebelum bel masuk." 

"Hm." Dinan mengiakan, memasang airpod di telinga. Lelah sudah, pena yang tadi berada di genggaman kini diturunkan dengan asal. Baru saja ingin mengedarkan pandangan ke jendela kelas, sontak Dikta mengulurkan sebelah tangan. "Apa?"

"Gue juga mau denger." 

Dengan enggan, Dinan menyodorkan, berhasil membuat Dikta yang mendengarkannya terdiam sesaat lalu tersenyum puas. "Din ...."

Setengah malas, Dinan melirik.

"Lo tau apa yang mau ditulis, tapi butuh keberanian buat lo nuanginnya, kan?"

Tangan Dinan tergepal erat, mata bundar itu sontak menatap Dikta dengan tajam. "Bukan urusan lo."

Hingga setengah jam berlalu, tidak terasa baik kertas Dinan maupun Dikta sudah terisi. Beda dengan Raya dan Rin yang tergolong panjang tetapi mendapatkan inti yang singkat.

Kehidupan normal menurut Rin, mencintai dan dicintai orang yang tepat. Sementara Raya, menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat. Sesuai dengan sifatnya yang tidak sabaran.

"Adikta Prima."

Dikta mengengkat kedua sudut bibir, barisan giginya terlihat saat menyengir sembari memperhatikan tulisan di kertas. "Hidup di masa kini, tanpa harus pusing memikirkan apa yang ada di masa depan serta untuk tidak menyesali masa lalu, menurut saya adalah kehidupan normal yang sesungguhnya."

Cowok itu mengembus napas panjang, memperhatikan sekeliling kelas. "Proses. Bukankah setiap orang harus menikmatinya? Sedikit mengapresiasi diri, tetapi juga harus tegas dengan batasan yang dimiliki. Ah, esai gue kenapa kaku amat, elah! Udah, Bu! Punya Dikta segini aja!"

Buku setengah dihentak ke meja, Dikta mengacak belakang kepala dengan gusar. Jangankan orang lain, pemilik tubuh itu sendiri saja janggal bila mencoba untuk serius dan bersikap kaku. Bagaimana juga, ia bukan Dinan, kan?

"Dinangga Atma."

Dinan memejamkan mata, mengembus napas panjang sebelum bangkit dari bangkunya. Gemetar. Secepat mungkin Dinan mencengkram kertas dengan erat, bersiap membacanya. Lagi-lagi ia mengutuki, kenapa harus ada pelajaran yang membuat seseorang harus menggali pengalamannya? Membutuhkan pemikiran yang mendalam untuk mengubah kata-kata agar tidak semua orang mengerti dengan maknanya.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now