BAB 39 : STORY PART PF ADIKTA PRIMA - PLEASE, DON'T BREAK UP!

70 7 2
                                    

Keputusan yang dibuat ketika marah, menghasilkan penyesalan yang begitu dalam, bukan?

Not House, but Home

...

Adikta Prima. Cowok berseragam putih abu itu memasukkan kendaraan beroda dua ke garasi rumah dengan tenang. Seolah tidak terjadi apa sebelumnya dan bahkan mulai melupakannya. Ya, harusnya ia lupa jika saja Mama tidak mengejutkannya secara tiba-tiba.

"Dikta!"

Dikta yang baru saja melepas helm, menoleh seketika, memperhatikan perempuan paruh baya yang langsung saja keluar dari rumah. "Ma, muka Dikta, uph!"

"Kamu kenapa? Tadi Mama dapat dari kabar dari sekolah, kalau kamu--"

"Ma ...." Dikta memejamkan mata sejenak, menjauhkan tangan perempuan itu dari pipinya, berusaha menenangkan. "Dikta baik-baik aja. Lihat?"

Dikta berputar, menghadap wajah kanan kiri, lalu mengangkat kedua sudut bibir berhasil menampakkan cekungan pipinya yang manis. "Dikta sehat, makin ganteng juga, kan, ya?"

Perempuan itu tertawa pelan, mencubit pipi anaknya dengan gemas. "Masuk, ayo!"

Dikta menurut, melangkah masuk. Sekeliling ruangan rumah tampak bersih, bahkan begitu rapi. Anehnya di saat sore seperti ini, tidak seharusnya ruangan seperti baru saja dibersihkan, kan? atau kemungkinan ... ah!

Dikta mengangguk paham, kepala itu tertunduk sejenak, memperhatikan beberapa barang berbahan kaca yang berada di serokan dan belum dipindahkan ke tempat sampah.

"Mama ada masalah?" tanya Dikta memastikan, memperhatikan perempuan paruh baya yang kini mulai tenggelam dalam rancangan desain busananya.

Mama yang duduk di sofa ruang tengah, mengangkat kepala, lalu menggeleng pelan. "Nggak ada."

Jawaban singkat, kini Dikta menyadari bahwa benar-benar ada masalah yang tidak dapat diceritakan. "Dikta, boleh ke atas dulu? Mau istirahat."

Kedua sudut perempuan itu terangkat, mengangguk. "Silahkan."

Dikta meniti tangga, ketika hendak menggenggam kenop pintu, perempuan paruh baya itu memanggil. Dikta mencondongkan tubuh, memperhatikan dari dinding pembatas koridor atas. "Ya, Ma?"

"Besok izin sekolah dulu, ya?" pintanya.

Dikta terdiam sesaat, lalu tak lama mengangguk, tertawa hambar.

***

"Untuk pertama kalinya hasil pemeriksaan gue keluar." Dikta bangkit, memunggungi Raya yang kini menatapnya dengan heran. Ia membuka jendela dengan lebar lalu memperhatikan salah satu foto yang berada di meja belajar. Foto keluarga? Bisa saja, tetapi kali ini bukan bersama Papa ataupun Mama, melainkan pria yang usianya terpaut jauh lebih tua, senyumnya yang lebar sembari memangku Dikta yang masil kecil membuat Dikta merindukannya.

Ah, bahkan foto ini diambil ketika lelaki itu usai pulang dari sesi kemoterapi, bukan?

"Mungkin suatu saat nanti bakal pergi dengan cara yang sama seperti kakek gue."

"Dik," tegur Raya, menatap tajam. "Lo jelas beda. Meskipun gejala yang sama, lo masih jauh lebih kuat."

Dikta menoleh belakang, tersenyum sinis. "Wo! Jelas! Gue lebih muda ya, kan?"

Raya mengangguk pelan.

"Tapi, sayangnya kepergian seseorang nggak bisa dilihat dari usianya," ucap Dikta kembali, mengembus napas panjang, lalu tertawa pelan. "Bahkan sebelum ini terjadi, gue sempat berpikir hal yang nggak seharusnya gue pikir. Seperti, saat ingin tidur, gue nggak siap menghadapi keesokan harinya. Gue berharap waktu berhenti begitu saja."

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now