BAB 30 : GOTCHA!

81 11 5
                                    

Tidak semua masalah hadir untuk langsung dihadapi, adakalanya seseorang harus beristirahat sembari mengatur strategi. Namun, jika beristirahat terlalu lama, bukankah masalah yang di hadapi semakin besar? Bukan hanya realita, tetapi juga pikiran yang turut menambahkan kegelapan.

Not House, but Home

...

Kendaraan beroda dua melaju pelan begitu memasuki sebuah kawasan elit perumahan. Awalnya Dinan kira, sudah cukup tugasnya untuk mengantar Dikta pulang hingga menuju pos penjagaan, tetapi siapa sangka bahwa di dalamnya terdapat beberapa blok rumah yang bahkan Dinan sendiri yakin butuh waktu yang lama untuk menghafalkan letaknya.

"Belok kiri, Din," arah Dikta, yang berada di belakang Dinan.

Dinan menurut saja. Meskipun ia akui tidak begitu nyaman, tetapi berhasil diambil alih dengan rasa penasaran yang muncul. Entahlah, Dinan tidak yakin, tetapi seperti ada banyak file lama yang muncul di kepala ketika menuju wilayah ini.

Mulai dari jalanan besar, lalu hingga gang kecil, dan bentuk atap yang di dominasi berwarna gelap dengan gaya minimalis. Mungkinkah dulu ia pernah mengunjungi tempat ini?

"Nah!" Dinan nyaris terlonjak. Suara Dikta yang selalu melantunkan nada semangatnya kini tertawa puas, sembari menunjuk rumah di sudut blok F. Tampak pagar hitam terbentang tinggi, begitu juga dengan dinding putihnya. "Itu rumah gue!"

"Udah sampai, kan? Puas?" tanya Dinan, mengangkat sebelah alis. Pemilik jaket maroon itu turun dari kendaraan lalu membuka pintu pagar dengan lebar. "Sekarang, gue pulang. Makasih buat makanannya."

"Eh!" Dikta menggeleng, cowok itu melambaikan tangan sebagai tanda menahan lalu meneriakan hal konyol seperti 'Dikta ganteng pulang' entah kepada siapa di dalam sana.

Tidak peduli, baru saja Dinan ingin memutar arah kemudi, sontak suara perempuan paruh baya terdengar, menghampiri anaknya. "Dik? Kamu pulang sama siapa?"

Nada bicara, bahasa, bahkan wajah itu ....

Diam-diam Dinan menelan ludah. Tidakkah perempuan paruh baya ini benar-benar seperti Dikta? Lihat saja wajah oval dan binaran mata semangat yang khas. Bahkan ketika tersenyum cerah--ah, Dinan jauh lebih menganggapnya sebagai pemangsa seseorang--terlihat lesung pipit di sisi kanan wajah.

"Dinan," jawab Dikta, menyengir. "Mama pasti pernah lihat waktu ke sekolah kemarin."

"Woah!" Mama Dikta terperangah, lalu menjulurkan tangan, berhasil mengingatkan Dinan akan hari pertamanya menginjakkan kaki di sekolah. Dalam hati, Dinan tertawa datar, membalas jabat meskipun terpaksa. Apa mungkin wanita ini juga pemaksa dan keras kepala seperti Dikta?

Ah, tentu saja iya. Sangat, tidak ada secelah pun sifat yang berbeda dari perempuan ini dan anaknya. Sama-sama berisik, seenaknya, dan menyebalkan, huh?

"Masuk dulu, elah. Nggak usah segan. Rin, Raya bahkan Sam udah sering ke sini," ucap Dikta, melepaskan jaket, berhasil memperlihatkan berat badan tubuh itu. Kurus. "Gue ke atas bentar, lo tunggu sini."

Sebagai balasan, Dinan hanya mengangkat kedua sudut bibir dengan lebar, sangat kontras dengan sorot matanya yang ingin pergi dari rumah ini juga.

Cukup Dikta yang tidak pernah diam dan ikut campur urusannnya. Sekarang? Kenapa harus ditambah dengan perempuan ini?

____

"Yash! Berhasil." Pintu kamar tertutup rapat, dengan sebelah sudut bibir terangkat, Dikta mengembus napas lega, tanpa sadar merosot pada pintu yang menjadi tempat sandarannya.

Not House, but Home [COMPLETE]Where stories live. Discover now