24-Prasangka

10.6K 857 25
                                    

Di tengah pekat dan dinginnya malam. Sebagian orang menganggap waktu ini adalah waktu terbaik untuk melepas penat dengan tidur. Sebagian lagi mungkin ada yang masih terjaga hingga belum mendapatkan kesempatan untuk tidur. Dan sebagian lagi ada yang telah terjaga dari tidur nyenyak dan meninggalkan pembaringan untuk bermunajat kepada Allah. Di dunia ini, kebutuhan orang berbeda, keinginan berbeda, tidak sama. Nasib berbeda, ada yang kaya dan miskin. Ada yang merasa kelebihan, cukup, dan kurang. Tolak ukur seseorang dalam melihat keadaan berbeda-beda. Cara pandang seseorang dalam melihat dunia tidak sama.

Namun, terlepas dari itu semua sudah sepatutnya makhluk di dunia ini berterima kasih terhadap apa yang telah dititipkan pada diri. Nikmat Allah tidak terhitung, maut pasti datang, rezeki telah tertakar, jodoh tidak akan tertukar, dan janji Allah tidak ingkar. Bersyukurlah dengan apa yang dipunya saat ini. Bisa jadi, ini merupakan cara Allah untuk menjaga seseorang dari keburukan dunia. Bukankah semakin banyak yang dimiliki di dunia, akan semakin lama pula dihisab di akhirat?

Oleh sebab itu, pandai-pandailah menggunakan apa yang dimiliki agar bernilai ibadah dan pahala di mata Allah.

Memikirkan semua hal tersebut, Kayesa menghela napas. Ia takut lalai. Ia takut dengan apa yang dilakukannya bisa menimbulkan dosa yang tak terampuni. Terlebih, ia sering menentang perkataan Denan.

"Kenapa?"

Kayesa tersenyum. "Gakpapa, Kayesa cuma ngantuk."

Keduanya kini duduk berhadapan dengan Kayesa yang masih lengkap dengan mukena di tubuhnya. Kayesa meraih tangan Denan dengan kedua tangannya, lalu menciumnya. Dalam hati, ia memohon ampun kepada Allah dari segala perkataan dan perbuatan buruk yang sering ia lakukan kepada Denan agar diampuni. Ingin meminta maaf langsung kepada sang suami, rasanya sedikit aneh.

Tidak seperti biasanya, Denan perhatikan akhir-akhir ini Kayesa terlihat banyak kehilangan tenaga. Kerap memasang wajah mengantuk, juga lemas. Padahal, jika diingat-ingat, istrinya itu selalu makan tepat waktu, juga telah mengantongi waktu tidur yang cukup. Kekurangannya, hanya olahraga yang sangat malas ia kerjakan.

Denan menatap jam dinding yang sebentar lagi menunjukkan pukul empat dini hari. Laki-laki itu menatap Kayesa sekilas, lalu mengambil mushaf yang tidak jauh di sampingnya dan meletakkannya di atas pangkuan sang istri.

"Setor hafalan, Kay. Kamu belum ada setor hafalan minggu ini," ucap Denan yang menyadarkan Kayesa dari rasa kantuknya.

Denan benar-benar mengambil alih tanggungjawab Adnan-Abah Kayesa. Sebelum menikah dengan dirinya, Kayesa memang selalu melakukan setoran hafalan setiap minggu kepada Abahnya. Sekarang, Kayesa telah menjadi tanggungjawabnya. Kayesa adalah amanah yang diberikan kepadanya. Sudah sepantasnya ia meneruskan ajaran dari orangtua Kayesa. Membuatnya bahagia, bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat nanti. Insya Allah.

Kayesa menatap mushaf di atas pangkuannya, lalu menggangguk lemah kemudian.

"Sebentar, ya, Denan. Kayesa mau murojaah sekali baru Kayesa setor."

Denan mengangguk. Ia mengamati Kayesa yang mulai membuka mushaf dan memejamkan mata setelahnya. Istrinya itu mulai komat-kamit mengulang hasil hafalannya yang baru. Denan tersenyum saat Kayesa membuka sedikit matanya dan mengintip bacaan mushaf di tangannya. Jika seperti itu, Denan tahu, istrinya itu tengah keliru atau sedang lupa.

"Sudah."

"Sudah?"

Kayesa mengangguk. "Untuk minggu ini, sepuluh ayat dulu, ya, Denan."

Kedua alis Denan bertaut. "Kok setiap minggunya hafalan kamu semakin berkurang?"

Kayesa menggaruk dagunya sembari mengalihkan tatapannya ke arah lain. Jika boleh dijawab jujur, ia juga tidak tahu mengapa. Ia sadar, tiga minggu belakangan ini setoran hafalannya selalu berkurang sebanyak lima ayat.

SyuamitonirrajimWhere stories live. Discover now