25th Card

182 36 31
                                    

Katanya,

people write because no one listens.

Kisah-kisah tidak tertulis secara mandiri. Ada tokoh yang disimpan dan potongan kenangan yang diharap abadi. Peristiwa-peristiwa yang diubah sebab tak diinginkan ada. Serta rasa yang lama-kelamaan bisa saja berbeda.

Menulis adalah membangun dunia. Lari dari nyata dan menyusun sendiri sebuah jalan cerita. Entah berakhir bahagia atau duka; menulis tetap lebih menyenangkan dibanding harus menghadapi permasalahan hidup yang sama sekali tidak pernah akan bisa diketahui arahnya.

Membaca banyak karya sebab pekerjaannya membuat Jihye menyadari, kehidupan bisa berjalan begitu mudah dalam fiksi. Kisah cinta dua remaja terbaca begitu penuh warna dan berbunga-bunga. Konflik yang ada terlesaikan dengan tidak menguras tenaga. Tokoh-tokoh berbahagia dan selalu membuat iri para pembaca. Tidak selalu tergambar sempurna, tapi cukup membuat terlena.

Jihye jadi berpikir, andai saja hal tersebut bisa terjadi di dunia nyata. Sejak awal akan dia jadikan dirinya sebagai tokoh utama perempuan yang kuat dan tidak membutuhkan siapa-siapa. Tokoh utama dengan kepribadian ceria dan tangguh. Tipikal yang disukai semua orang dan punya banyak teman. Jika pun harus ada perjodohan dalam hidupnya―lantaran dia yang memang tidak punya pandangan apa pun tentang menikah―Jihye akan menghadirkan sosok pemuda tampan yang tergila-gila dengannya sejak pandangan pertama. Tidak cukup kaya tidak apa-apa, asal bisa memperlakukannya dengan baik. Sedikit konflik di awal pernikahan perlu terjadi untuk mewarnai kisah. Namun akhir yang bahagia akan dipastikan ada. Kehidupan pernikahan yang indah, penuh cinta dan bertahan selamanya.

Andai saja Jihye bisa menulis kisah hidupnya sendiri; semua tahu, hal itu tidak bisa terjadi. Fiksi tetaplah fiksi. Khayal. Tidak nyata.

“Kau sedang memikirkan apa, Jihye-ya?”

Jihye menoleh, mendapati Jung Hoseok yang telah ada di sebelahnya. Seakan merusak semua imajinasi yang tengah dia khayalkan. Menghadirkan kenyataan, bahwa sekarang ini, di hadapannya adalah sosok suami sebenarnya yang dia miliki. Tampan, tapi tidak asyik.

“Apa pun dan jelas bukan tentangmu,” balas Jihye ketus. Kembali memalingkan pandangan dari Jung Hoseok yang tampak serius memandangi hamparan laut biru di depannya. Tatapannya tampak sedikit … bagaimana Jihye menjelaskannya? Sedih? Menyesal? Jihye dapat mendengar hela napas Hoseok setelahnya. Begitu berat dan lelah.

“Maaf, sudah menyebabkan banyak kesulitan bagimu.”

Jihye tidak menanggapi. Lebih tertarik mempermainkan gundukan pasir putih di dekatnya dengan telapak kakinya yang tak beralas. Dalam batinnya, kenapa juga Hoseok ada di sini? Bukankah pantai ini cukup jauh dari kediaman mereka? Bagaimana caranya Hoseok sampai sini dan bagaimana laki-laki itu tahu dia sedang ada di sini? Jihye tidak mengerti.

“Kau boleh marah padaku, tapi jangan pergi,” ucap Hoseok sekali lagi. Jihye mengernyit. Tak urung dia angkat pandangannya menatap Hoseok kembali. Netra mereka bertemu dan Jihye dapat melihat betapa Hoseok terlihat merasa bersalah di sana.

“Kenapa … aku tidak boleh pergi? Orang-orang tidak pernah mengharapkan aku ada di dunia ini. Aku lelah, Jung Hoseok. Aku ingin berhenti.”

Hoseok menggeleng. Laki-laki itu meraih satu tangan Jihye dalam genggaman. Erat sekaligus hati-hati. Seperti takut Jihye akan benar-benar pergi jika dia membuat gerakan yang salah. Jihye hanya memperhatikan dengan benak penuh tanya. “Jangan pergi. I beg you. Semua orang menunggumu. Ibumu, Ibuku, Ayah, Noona, Jungkook bahkan ayahmu.”

Jihye terdiam sejenak. “Aku tidak punya ayah, Hoseok-ah”

“Tadi pagi aku bicara dengan ayahmu,” lanjut Hoseok, seperti tidak menghiraukan ucapan Jihye. “Ayahmu bilang sangat merindukanmu dan ingin minta maaf untuk semua kesalahannya. Kau tahu?”

House of Cards✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang