6th Card

257 54 18
                                    

Boleh baca part sebelumnya kalau lupa hehe🙏

——
Dua bulan berlalu begitu saja. Tidak banyak perubahan yang terjadi. Hubungan Hoseok dan Jihye seperti jalan di tempat. Dunia kini terbalik. Jika dulu Hoseok akan pergi ke restoran pagi-pagi sekali untuk menghindari Jihye, maka sekarang Jihye yang tidak ingin berada di satu situasi bersama Hoseok. Dia akan menyiapkan sarapan pagi seakan Hoseok tidak ada di rumah meski laki-laki itu ada. Makan dalam diam karena memang tidak ada yang membuka pembicaraan. Baik Hoseok maupun Jihye, tidak ada yang memulai untuk saling memperbaiki keadaan. Memperbaiki pernikahan mereka.

Namun, keduanya juga tidak saling memilih menyerah. Hoseok mungkin memiliki alasan untuk tidak menyerah, tapi Jihye? Menyerah atau bertahan dia tidak ingin pusing memikirkan pilihan.

Lalu Tuhan memberinya satu alasan, yang layak dipertimbangkan.

“Kau yakin tidak salah periksa, Aerin-ah?” Nada suaranya hampir terdengar seperti protes, tapi Aerin tahu Jihye hanya terkejut. Perempuan berjas putih itu tersenyum tipis. Mencoba memahami kondisi Jihye dan menenangkannya.

“Usianya delapan minggu, dan meski kau merasa tidak sehat akhir-akhir ini kandunganmu baik-baik saja. Tapi kau tetap harus memperhatikan pola makan dan istirahat. Aku akan memberimu resep vitamin,” terang Aerin yang separuh penjelasannya tak begitu tertangkap pendengaran Jihye. Pikirannya terlalu rumit untuk menerima semua ini. Ini bukan kabar buruk yang tidak berhak disyukuri. Namun, untuk mendapatkannya di waktu sekarang … Jihye tidak tahu lagi. Kepalanya terasa sedikit pening.

Hubungannya dengan Hoseok tidak bisa dikatakan baik. Dan mungkin dengan adanya kabar kehamilan, hubungan mereka bisa lebih tidak baik lagi. Bagaimana jika Hoseok tidak menerima kandungan Jihye? Bagaimana jika dia kembali bersikap pengecut. Jihye memastikan dirinya akan baik-baik saja menjadi orangtua tunggal, tapi menjadi seorang anak dengan orangtua tunggal bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Jihye tahu itu.

Dan biar bagaimana pun, bayi ini milik Hoseok juga.

Jihye tersentak kala sebuah telapak tangan menyentuh tangannya. Dia baru sadar bahwa salah satu teman dekatnya, dokter Aerin masih ada di hadapannya. Memberinya senyum hangat.

“Aku tahu kau masih tampak terkejut dengan kabar ini, tapi apa pun yang kaupikirkan, bicarakan dengan Hoseok. Dia perlu tahu.”

Dan Jihye setuju dengan itu.

Usai menerima selamat dari Aerin lengkap dengan pelukan hangatnya, Jihye bergegas pulang. Menghubungi kantornya untuk meminta ijin dan menunggu Hoseok di rumah. Mengharap Hoseok pulang cepat tanpa menghubunginya adalah suatu hal yang sia-sia. Namun, Jihye tetap melakukannya. Ditemani dengan segala kemungkinan yang berputar di pikirannya. Ketakutan-ketakutan tidak beralasan yang hanya bisa terjawab setelah Hoseok datang.

Jihye memutar-putar ponselnya dengan bimbang. Menimbang-nimbang antara harus menghubungi Hoseok atau jangan. Namun, saat hatinya mantap akan menelepon suaminya itu, pintu depan terbuka.

Jihye memandang Hoseok yang tampak heran dengan kehadirannya. Mendadak keberaniannya kembali. Entah karena prinsip yang tertanam bahwa dia tidak boleh lemah di hadapan laki-laki atau memang dia terbiasa bersikap seperti itu pada Hoseok.

Jihye menghampiri Hoseok.

“Ada yang ingin kubicarakan,” katanya tanpa basa-basi. Perempuan itu akan duduk di sofa ruang depan, tapi kemudian mengurungkan niat dan berjalan ke ruang makan. Hoseok menyadari hal itu. Namun laki-laki itu memilih diam dan mengikuti.

Keheranan laki-laki itu tidak berhenti sampai Jihye memberikan amplop putih yang dikeluarkannya dari tas. Hoseok membaca isinya lamat-lamat.

“Aku hamil,” ujar Jihye, setelah lama tak mendapat respon dari Hoseok. Situasinya bahkan bukan seperti seorang istri yang memberitahu kabar gembira pada suami. Lebih kepada remaja yang meminta pertanggungjawaban kekasih atas hasil tindakan mereka yang di luar batas. Mungkin pernyataan tadi terlalu berlebihan. Namun suami-istri sebenarnya tidak akan secanggung ini.

Hoseok masih tetap hening memandang lembar di tangannya. Dalam hatinya mencari, apa yang dirasakan seorang laki-laki saat mengetahui dirinya akan menjadi seorang ayah? Bahagia? Bangga? Hoseok sungguh merasakan hal itu. Sebelum kata-kata Jihye membuatnya tersentak.

“Kau mau mempertahankannya atau tidak?” tantang perempuan itu. Tidak sabar menghadapi keterdiaman Hoseok.

Mendengar pertanyaan itu Hoseok memicing tajam, “Maksudmu?”

“Jika kau mau aku mempertahankan kandungan ini, setidaknya kita harus memperbaiki hubungan kita, dan aku akan sangat berterima kasih untuk hal itu. Tapi jika kau memilih untuk tidak terlibat dengan semua ini, aku memilih tidak mempertahankan pernikahan.” Jihye begitu tegas, meski dalam hatinya tidak seyakin itu. Bagaimanapun juga dia harus mempersiapkan kemungkinan terburuk. Memang apa yang bisa diharapkan dari laki-laki yang tidak mencintainya? Sebuah perjuangan?

“Di pikiranmu itu apa aku begitu jahat? Apa aku selalu seburuk itu?” tanya Hoseok, sedikit tidak terima dengan kata-kata Jihye yang tampak menuduhnya. “Apa kepalamu itu isinya hanya hal-hal yang negatif?”

Ini kali pertama selama pernikahan Hoseok bicara sebanyak itu pada Jihye. Dia benar-benar tidak senang mendengar pernyataan pedas perempuan yang berstatus istrinya tersebut.

“Bagaimana aku bisa tahu kau sebenarnya baik atau tidak jika selama ini kau tidak pernah menjelaskannya padaku? Bagaimana aku bisa menilai dengan benar seseorang yang hanya kutemui sesekali padahal kita tinggal di atap yang sama?”

“Dan apa belakangan ini aku tidak berusaha bicara padamu meski kau selalu menghindar?” geram Hoseok menekan kata-katanya.

Jihye membuang pandangan. Dia menahan ucapannya diujung bibir. Tujuannya bicara dengan Hoseok bukan untuk berdebat. Perempuan itu menghela napas dan tanpa sadar meletakkan tangannya pada perut yang masih rata. Mulai menerima kehadirannya.

“Kenapa kau bisa berpikir aku tidak ingin mempertahankannya?” Nada suara Hoseok melembut. Entah karena dia memang ingin memperbaiki keadaan ini atau kenyataan bahwa perempuan di hadapannya yang tengah mengandung. Satu hal yang pasti bahwa ibunya apalagi kakaknya tidak pernah mengajarkan untuk bertindak kasar pada perempuan. Maka Hoseok mencoba sabar, mengendalikan emosi.

“Karena kau tidak pernah menerima pernikahan kita?” Itu alasan yang masuk akal.

“Nyatanya sampai saat ini aku masih tetap menjadi suamimu, Jihye! Aku juga masih mempertahankan pernikahan ini!”

“Kau tentu punya alasan lain yang membuatmu bertahan. Dan alasan itu tentu bukan pernikahan ini sendiri apalagi aku!”

Hoseok terdiam sejenak. Membenarkan pernyataan Jihye. Alasannya adalah perjanjiannya dengan sang ayah. Namun setelah Hoseok tahu bahwa dia seorang ayah sekarang, apakah perjanjian itu masih penting untuknya? Hoseok tidak ingin bertindak bodoh lagi.

“Apa maumu?” Hoseok mendekat pada Jihye. Berhadapan dengan perempuan itu. Mengambil satu langkah lebih berani untuk hubungan mereka. Memangkas jarak yang terlalu lama ada. Jika memang bukan untuk mereka, biarkan untuk calon anak yang sama-sama mereka sayang. Sama-sama mereka inginkan kehadirannya dan tidak mereka permasalahkan. Jihye mengangkat pandangan, menatap Hoseok yakin.

“Aku sudah mengajukan pilihannya padamu.”

“Maka tidak perlu berterima kasih, mari kita pertahankan bersama. Pernikahan ini dan juga bayi kita.”

xxxx
Sudah malam, aku belum ingin banyak mengganggu 😂🙏
Terima kasih yang sudah sampai sini, mohon maaf untuk apapun. Minal Aidin wal Faidzin🙏
01/06/19

House of Cards✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang