3rd Card

302 63 24
                                    

"Noona sedang sibuk?"

Jihye membetulkan letak ponselnya. Mengapit benda pipih itu di antara bahu dan telinga sementara dua tangannya tengah sibuk memotong bahan-bahan. Setelah puas mengistirahatkan tubuh, perempuan itu memutuskan untuk memasak makan malam, tapi telepon dari adik sepupunya membuatnya bekerja sedikit lambat.

"Sebenarnya aku sedang menyiapkan makan malam. Kau keberatan jika kuhubungi lagi nanti? Aku sedikit kerepotan," keluhnya. Mendengar itu, Jungkook tertawa. Jihye benar-benar terus terang, tapi memang hanya pada Jungkooklah dia merasa bisa bersikap seperti itu. Perempuan itu mengambil sebuah mentimun dan mengupasnya. Memotongnya panjang-panjang.

"Letakkan saja ponselmu di meja, tekan tombol speaker dan kau tetap bisa memasak sambil berbincang. Ayolah, Noona, aku merindukanmu."

"Baiklah, baiklah." Jihye menurut. Menekan tombol speaker dan meninggalkan ponselnya di dekat talenan. Jungkook benar-benar tidak bisa ditolak. Jika dia mematikan sambungan, pemuda itu akan menghubunginya lagi dan lagi. Kadang membuatnya merasa terganggu, lebih sering membuatnya merasa tidak kesepian. Merasa tidak sendirian.

Jeon Jungkook adalah anak laki-laki dari adik perempuan ibunya. Sama-sama anak tunggal dan tumbuh bersama membuat keduanya menjadi dekat. Bahkan Jungkook sudah seperti adiknya sendiri, yang lebih sering mengkhawatirkannya dan siap siaga melindunginya. Jihye tersenyum mengingat itu.

"Kau sedang membuat apa?"

"Gimbab," jawab Jihye singkat, perempuan itu benar-benar sibuk dengan masakannya.

"Kau membuat gimbab? Untuk makan malam?"

"Memangnya kenapa? Aku sedang ingin."

"Apakah ini yang mereka sebut craving? Noona, kau hamil? waaah!" suara Jungkook terdengar lebih antusias. Craving? Mengidam maksudnya?

"Jeon Jungkook mulutmu! Kau cerewet sekali seperti Ahjumma."

"Orang hamil memang sedikit sensitif."

"Aku tidak hamil!" geram Jihye kesal. Hamil darimana berhubungan saja tidak pernah. Pemuda di seberang sana malah tertawa. Dia memang suka sekali menggoda Jihye. Noonanya itu mungkin terlihat cuek bagi sebagian orang. Dingin dan tidak ramah. Padahal Jihye sama seperti perempuan-perempuan lainnya, cerewet tapi perhatian.

Perempuan itu hanya bisa geleng-geleng kepala sebab kelakuan adiknya. Dia tengah fokus meletakkan nasi di atas selembar rumput laut. Melengkapinya dengan isian dan menggulungnya menjadi satu kesatuan.

"Jadi, bagaimana menikah? Apa kau bahagia?" tanya Jungkook tiba-tiba. Pertanyaannya sukses membuat Jihye terdiam sejenak, tapi dia segera bisa menguasai diri.

Bagaimana menikah? Apa menikah itu seperti ini? Tidak ada yang berubah selain dia tinggal satu atap dengan orang asing yang tidak begitu dia kenal. Menyiapkan sarapan, pulang sebelum jam makan malam. Apa dia bahagia? Sejauh ini tidak ada hal yang benar-benar membuatnya sedih. Jadi dia menjawab pertanyaan Jungkook dengan santai, "Ya. Tidak ada alasan aku tidak bahagia."

"Syukurlah. Hyung memperlakukanmu dengan baik?"

Dia tidak pernah merasa tersakiti karena Hoseok, kan? "Hm. Dia baik."

"Hah. Aku bisa tenang sekarang. Bibi Han masih sering mencemaskanmu, aku akan mengunjungimu sesekali."

"Lalu tunanganmu akan cemburu padaku. Kau lebih peduli pada kakak sepupumu daripada dengannya," canda Jihye.

"Hey! Kau kan juga kakaknya!"

Jihye terkikik, menyelesaikan makanannya dan meletakkannya di piring-piring. Telinganya menangkap suara pintu depan yang dibuka. Seseorang masuk, pasti Hoseok.

House of Cards✓Место, где живут истории. Откройте их для себя